DI tengah lalu-lintas percakapan perihal Kemuning yang membuat suasana Ramadan kali ini cukup sunyi, WhatsApp-Grup “JagaLawu” juga disibukkan oleh lalu-lalang kabar dari Ngawi. Masing-masing dari setiap anggota grup tentu memahami, mereka harus menjaga energi.
Lagi-lagi, hal serupa ini kembali harus terjadi. Ya, perusakan lingkungan. Ativitas yang hampir dikecam oleh seluruh umat penghuni bumi namun terus-menerus secara terang-terangan dilakukan tanpa henti. Kehidupan berjalan penuh anomali beserta dengan ironi yang melingkupi. Beberapa melahirkan strategi, tidak sedikit yang menjelma komedi, lalu sisanya menjadi tragedi.
Telah terjadi perusakan lingkungan di Wukir Bayi, Ngawi, Jawa Timur. Jalur pendakian Gunung Lawu via Ngawi dijuluki dengan sebutan Wukir Bayi. Tepatnya, di Desa Kletekan, Kecamatan Jogorogo. Melansir dari beragam sumber yang terhimpun, hal demikian dilakukan dengan dalih lahan hutan yang jalannya diratakan memang merupakan jalur ilaran dan sekat bakar.
Jalur itu sengaja dilebarkan untuk memudahkan mobilitas saat melakukan mitigasi sekaligus evakuasi. Adapun penjelasan ilaran api dan sekat bakar, merupakan jalur bersih yang berfungsi memisahkan antara areal yang diperkirakan sebagai sumber datangnya api dengan areal yang harus diamankan dari kebakaran.
Seiring dengan berjalannya waktu, satu per satu temuan kemudian bermunculan. Aktivitas alat berat yang berlebihan. Keterbukaan atas informasi yang terkesan mencurigakan. Perizinan yang belum ada kejelasan. Hingga kabar duka bahwa “kegiatan-pembangunan” demikian akan sampai di Gupakan Menjangan. Alih-alih mencoba menggiring opini, justru belum lama ini dengan jenaka sengaja mengadakan giat penanaman yang jelas-jelas gagal memberikan alasan yang logis.
Laporan dan aduan dilayangkan oleh rekan-rekan. Kepada lembaga atau pihak terkait juga tentu para pemangku kebijakan. Beberapa upaya perlahan dilakukan, mulai dari menggali informasi, menjalin komunikasi, hingga menginisiasi petisi.
Bersamaan dengan ditayangkannya tulisan ini, kabar Wukir Bayi sudah sampai di meja kerja WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Hal terdekat yang barangkali bisa dilakukan oleh para pembaca setelah selesai membaca tulisan ini, adalah menandatangani petisi yang tersemat dalam laman informasi : https://bit.ly/Jagalawu.
Santer dikabarkan jika jalur Wukir Bayi merupakan jalur pendakian yang wingit (baca: suci dan keramat). Sekalipun hampir semua jalur gunung di Nusantara memang konon digunakan sebagai lajur untuk laku tirakat. Setiap satu tahun sekali di bulan Suro, masyarakat Kletekan biasa mendaki saat Malam Jum’at Legi.
Bagi beberapa kalangan, jalur ini dipercaya sebagai “pintu-masuk” Gunung Lawu. Perihal demikian juga diyakini oleh para pendaki yang memang memiliki hajat laku tirakat. Tidak hanya itu, dalam kepercayaan masyarakat setempat juga berkembang adat-istiadat “Wedhus Kendhit” yang rutin terus dilakukan.
Dalam tradisi-literasi kebudayaan, gunung-gunung di Nusantara merupakan tempat yang suci. Representasi dari konsep Tri Hita Karana—Parhayangan, hubungan yang seimbang antara manusia dengan sang Pencipta. Pawongan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya. Palemahan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Tempat para pertapa menata hati. Tempat berdiam diri bagi mereka pejalan sunyi berdialog dengan sang Ilahi.
Kelestarian lingkungan adalah bagian dari perkara yang berdampak pada hajat hidup orang banyak yang tidak bisa sedikitpun diremehkan. Para pendiri dan orang-orang suci di negeri ini menegaskan, kelestarian lingkungan harus diutamakan lebih dari kemajuan atau bahkan sekadar kepentingan. Setidaknya, begitu pula Undang-Undang dan Pancasila mengamanatkan.
Maka, siapapun yang tinggal di tlatah Bumi Pertiwi sudah seyogyanya berani untuk bersikap—terkhusus dalam tulisan ini, bagi seluruh warga di sekitar Wukir Bayi dan lereng Mahendra Giri. Para orang tua, kaum dewasa, dan kawula muda. Mulai dari pelajar, pedagang di pasar, buruh kantor, hingga para pekerja kasar. Tentu, para penggiat sekaligus golongannya orang-orang yang sekadar menjadi penikmat alam.
Mari menularkan keberanian dan kebijaksanaan ke kiri- kanan. Keberanian untuk bijak bersikap dengan penuh kesadaran berkata : “Kami, memilih untuk mempertahankan dengan menjaga apapun yang berada di sekeliling kami, supaya kelak sebelum pergi kami bisa mewariskan ke generasi nanti. Mewariskan kesadaran. Mewartakan kelestarian. Menjalarkan kecintaan. Mereka berhak atas udara yang bersih, sumber mata air yang jernih, lumbung pangan yang lapang, dengan ekosistem yang terjaga keseimbangannya oleh nilai tata kelola etika semesta. Hidup yang nyaman dan aman.”
Jika dianalogikan apa yang (sedang) kita lakukan ini merupakan satu upaya untuk memadamkan api, boleh kiranya penulis menegaskan, biarlah kecil tak apa namun jelas tulus terasa sebagaimana semut-semut Ibrahim yang digerakkan oleh daya Ilahi.
Ngawi : kudu Wani! (Bli. Misbahuddin, penulis dan pegiat sosial)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |