LOKAWARTA.COM,SOLO-Rencana pemerintah memberlakukan kelas rawat inap standar (KRIS) di rumah sakit bagi pasien peserta BPJS Kesehatan diperkirakan akan mendatangkan persoalan baru.
Pasalnya, sejumlah steakholder belum siap dengan pemberlakuan kebijakan baru tersebut. Baik itu rumah sakit, pasien, bahkan BPJS Kesehatan.
Hal itu terungkap dalam diskusi tentang pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) yang diselenggarakan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di kantor Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Kamis (25/2/2022).
“Saya sudah keliling di beberapa daerah untuk mendiskusikan rencana KRIS ini dan rata-rata, mereka belum siap,” kata komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Arief Safari di sela diskusi.
Lebih lanjut Arief mengatakan, dalam situasi seperti sekarang ini banya peserta BPJS Kesehatan yang tidak membayar iuran. Terutama peserta mandiri, khususnya pekerja bukan penerima upah (BPU) atau pekerja di sektor informal.
Akibatnya, banyak kartu keanggotaan BPJS Kesehatan yang mati dan akumulasi tunggakan pembayaran iuran mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Dan kalau nanti layanan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan di rumah sakit di jadikan satu distandarkan, peserta kelas tiga menjadi naik dan kelas satu menjadi turun.
“Kalau layanan kelas tiga ditingkatkan dan iuran juga dinaikan, apakah itu tidak makin membebani peserta kelas tiga. Kalai mereka tidak kuat bayat, bukankah tunggakan iuran makin membengkak,” kata Arief.
“Itu belum termasuk peserta BPJS Kesehatan kelas satu. Apakah mereka tidak komplain kalau layananya diturunkan. Ini juga akan bikin repot,” jelas Arief.
Bagi rumah sakit, lanjut dia, pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) juga akan mendatangkan masalah baru, terutama rumah sakit kecil atau rumah sakit tipe C.
Dikatakan, selama ini masih banyak pasien yang harus masuk daftar tunggu atau antre masuk rumah sakit karena bangsal atau ruangannya penuh, terutama untuk kelas tiga.
Nah, kalau KRIS itu diberlakukan maka sebagian kamar atau bangsal rumah sakit yang semula VIP atau kelas satu mau tidak mau harus dirubah jadi standar agar bisa memuat banyak orang.
“Bagi rumah sakit besar dan banyak duitnya, merubah kamar itu tidak menjadi masalah. Tapi, bagaimana dengan rumah sakit kecil yang nggak banyak duitnya,” kata dia
Sebenarnya, Arief mengaku mendukung dengan pemberlakukaan KRIS tersebut. Namun karena banyak masalah yang harus diselesaikan, maka pemberlakukannya harus pelan pelan dan bertahap.
“Masing-masing peserta BPJS Kesehatan berbeda kemampuannya, masing-masing rumah sakit mitra BPJS Kesehatan berbeda-beda kemampuannya, karena itu jangan digebyah uyah, jangan pukul rata,” jelas dia.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |