UNGKAPAN Bahasa Jawa tersebut , bagi orang yang telah lama berdomisili di Jawa Tengah tentu tidak asing, malah bisa ditambah dengan ungkapan lain “sapa salah mesti seleh”.
Maknanya, barang siapa berbuat kesalahan pasti pada suatu saat akan terbuka/ ketahuan oleh khalayak ramai. Dengan adanya medsos akan segera tersebar dan memperoleh tanggapan netizen yang beragam.
Bagi pelaku penyimpangan tentu saja akan berusaha mengelak dengan berbagai dalih (ngeles : istilah anak muda sekarang) atau pembenaran yang kadang-kadang direkayasa.
Contoh paling mutakhir yaitu “gagal jabat tangan” antar kontestan Pilkada dan pemukulan atas awak media oleh ajudan seorang pejabat, sungguh memalukan. Lepas dari unsur sengaja atau tidak, di mata umum, sikap sosok calon pemimpin seperti itu pasti kurang elok dan tidak terpuji.
Bersalaman adalah bentuk kesantunan manusia dalam berinteraksi sosial yang paling sederhana namun mendalam. Kita jadi ingat selama pandemi covid-19 beberapa tahun lalu, dimana jatuh ribuan korban. Memang bersalaman justru dilarang untuk menghindari penularan yang berakibat fatal.
Insiden “gagal salaman” yang baru saja viral di medsos tidak terjadi saat pandemi melainkan dalam kondisi aman damai. “So What”, apa sebab?
Phenomena “ogah salaman” ini nampaknya juga menular pada cagub Jakarta yang menghindar salaman dari cagub lain. Kurang ethis kalau disebut inisialnya, rakyat pasti sudah faham. Medsos ternyata jeli menyoroti polah tingkah para calon kepala daerah yang saling bersaing dan berebut hati rakyat di tempat masing-masing.
Untuk memperoleh simpati publik/ pemilih dari berbagai lapisan masyarakat, para calon kepala daerah harus mampu memperlihatkan kesantunan yang wajar jauh dari kepura-puraan. Di ibaratkan wajah, polesan wajah jangan terlampau berlebihan hingga seperti topeng yang bopeng. Be natural, lebih disukai publik daripada rekayasa yang “norak” penuh kepalsuan.
Politik tidak bisa lepas dari pencitraan, karena tampil sebagai public figure haruslah atraktif, merak ati, semanak, sumeh, hangat juga cerdas. Tanpa tabir yang menyelimutinya, terkesan misterius.
Orang Jawa mengatakan,” jadilah sosok yang prasojo, aja neka-neka”, apalagi kakehan polah )banyak tingkah). Demikian juga apabila berkomunikasi dengan masyarakat pemilih, jangan sekali-sekali memakai narasi yang sulit dicerna, seolah menunjukkan kepintaran.
Jangan arogan, sombong, serta memamerkan kelebihan-kelebihannya di hadapan banyak orang. Ungkapan Jawa sungguh tepat, jadilah “orang yang bisa rumangsa, bukan orang yang rumangsa bisa”.
Dalam pergaulan, supaya dapat menjalin persahabatan dengan baik, seseorang harus memiliki kemampuan beradaptasi yang lentur (Bahasa Jawa : manjing ajur ajer).
Sabar mendengar yang disampaikan lawan bicara, dilandasi pengendalian diri yang utuh melepaskan sikap egoistis. Tidak semua orang termasuk pemimpin memiliki ciri-ciri tersebut di atas dan perlu kesabaran revolusioner yang dipelajari melalui proses panjang.
Berdasarkan pengalaman pribadi yang diperkaya membaca berbagai literatur, menurut pendapat saya seseorang untuk menjadi dewasa dengan pribadi yang matang pada hakekatnya dipengaruhi 3 unsur yaitu :
🌸 Unsur keluarga
🌸 Unsur pendidikan formal
🌸 Unsur pengaruh lingkungan.
Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, saling memengaruhi maupun saling memperkaya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Seorang anak belajar bergaul, berawal dari keluarganya yang merupakan inti dari organisasi terkecil. Keluarga, terutama orang tuanya mengajarkan nilai-nilai agama, tradisi, adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya agar si anak apabila memasuki komunitas lain sudah memiliki “ilmu sesrawungan” sebagai bekal.
Bekal dari rumah saja tentu belum memadai, oleh karena itu perlu ditambah dengan pendidikan formal (SD sampai PT) untuk mengasah kemampuan kognitifnya. Selanjutnya masih ada unsur lain yang juga tidak kalah pentingnya yakni pengaruh lingkungan.
Unsur lingkungan terdiri dari aspek positif dan aspek negatif. Apabila seseorang kurang pandai memilah dan memilih, maka dikhawatirkan akan terjebak pada aspek negatif, sebut saja merokok, mencoba obat terlarang, akrab dengan “dugem”, pergaulan bebas, dan lainnya.
Ujungnya berakhir pada tindak kekerasan yang menjurus kearah kriminalitas yang akhir-akhir ini marak di kalangan pemuda (terkenal dengan istilah “kreak”). Terlebih ketika modernisasi, globalisasi, hedonisme, pragmatisme makin mewujud di segala sektor kehidupan, nyaris menggerus nilai-nilai spiritualisme dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan sekaligus kekuasaan.
Semoga daya tangkal sebagai bangsa berbudaya kita masih mampu memagari diri dengan kembali pada kearifan lokal yang menjadi dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara
Akhirnya menurut seorang budayawan pemerhati spiritualisme Jawa, Imam Budhi Santoso, kita masih memiliki azimat yang cukup sakti dan berbobot yaitu unen-unen legendaris yang berbunyi “Bener ketenger, becik ketitik ala ketara”. (Oeoel Djoko Santoso, penulis)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |