Budaya Curang…

18 September 2024, 13:33 WIB

BEBERAPA hari ini di WAG dimana saya tergabung ramai dibahas masalah curang dan kecurangan.

Ada yang berpendapat bahwa laku yang tidak terpuji itu sulit diberantas karena sudah menjadi “budaya” bangsa ini, bahkan dianggap suatu kewajaran, kebiasaan atau habit yang tidak perlu disembunyikan.

Jelas saya yang lahir di era baby boomers tidak sependapat, apa pasal?

Budaya berasal dari bahasa Sansekerta BUDHAYAH yang artinya budi, akal dan perilaku.

Sedang kebudayaan mengandung rasa, karsa dan cipta, kesenian merupakan hasil olahan dari ketiga unsur tersebut.

Artinya secara makro baik budaya, kebudayaan maupun kesenian mengandung “sesuatu” yang indah, elok, sakral, sehingga wajib dijunjung tinggi siapapun.

Dalam menjalani kehidupan menuju kesempurnaan, manusia yang dituntun agama serta kepercayaan yang dianutnya, selalu berupaya agar berada di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Laku curang yang jauh dari nilai kejujuran tentu tidak patut menjadi acuan bermasyarakat.

Manusia sering terjebak oleh bentuk kecurangan yang terselubung, sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran.

Pujangga Ranggawarsita yang hidup di tahun 1860-an, mengingatkan kita semua melalui surat Kalatidha yang berintikan agar manusia itu harus “Eling lan Waspada”.

Pada hakekatnya tidak mudah menerjemahkan arti eling lan waspada, dibutuhkan kearifan yang dalam.

Dalam pemahaman yang sederhana, yang dimaksud dengan Eling adalah senantiasa ingat pada Tuhan yang Maha Tahu dan Wikan.

Apapun yang diperbuat umat-Nya, akan selalu dalam pengawasanNya. Sementara waspada menunjukkan ke hati-hatian yang melingkupi langkah manusia agar tidak terjerumus.

Sebagai contoh konkrit, ajakan melakukan korupsi secara halus dengan berbagai tipu daya, kemudian membuat aturan-aturan yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir orang, baik itu kerabat maupun keluarga intinya dan sebagainya.

Berita di sosmed menyampaikan adanya seorang ASN/PNS yang memalsukan ijazah S1-nya selama 7 tahun.

Yang bersangkutan sudah bekerja di salah satu Dinas bergengsi di Sumatra Utara akibat perbuatannya itu negara dirugikan sebesar Rp 278, 2 juta.

Dilihat dari jumlahnya belum seberapa besar bila dibandingkan dengan “mega korupsi” yang terjadi di Kementan maupun perusahaan pertambangan yang kejadiannya belum lama berselang.

Mungkin terlampau banyak kecurangan kecurangan yang terjadi di negara ini, di dunia pendidikanpun tidak lepas dari kecurangan kecurangan yang menyakitkan.

Kebijakan zonasi yang pada awalnya berniat baik, yakni mendekatkan murid dengan sekolahnya akhirnya malah melahirkan banyak kasus manipulatif yang mencoreng wajah pendidikan di Indonesia.

Ungkapan “semua bisa diatur” yang populer di era orba, bukannya hilang di saat reformasi justru malah menjadi lebih dahsyat.

Pemahaman saya, curang merupakan bentuk lain dari konsep Machiavelli yang menghalakan segala cara mulai dari yang halus, santun, canggih sampai yang kotor, jorok dan jahat.

Ketika masih duduk di Sekolah Dasar, guru saya seorang biarawati Katholik selalu meninggalkan kelas kalau kita sedang ulangan dan ujian.

Nampaknya beliau sengaja tidak menunggui kita untuk menguji kejujuran saat mengerjakan soal-soal.ata-kata beliau (Zr Gemma) yang masih terngiang di telinga adalah “jangan mengabdi pada mata” atau dalam bahasa Jawa aja ngabdi mata”.

Maksudnya kita merasa takut pada kehadiran manusia, bukan pada Tuhan yang selalu Maha melihat apa saja yang telah diperbuat kapan dan dimanapun.

Acapkali masyarakat dikecewakan oleh para aparat penegak hukum yang sering mengambil tindakan mendukung kecuragan di saat mereka harus menegakkan keadilan.

Kondisi berbangsa dan bernegara sempat gaduh dengan munculnya keputusan-keputusan kontroversial yang dibuat oleh para Hakim Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Di benak banyak orang, seorang hakim haruslah seorang sosok yang berwibawa dengan kearifan seorang dewa.

Mengingat dia adalah wakil Tuhan di dunia bagi para pencari keadilan, dengan
demikian bukanlah seorang pragmatis transaksional yang bergaya “jango” di zaman “wild west”.

Selagi masih ada waktu, marilah kita merenung, mawas diri, berkontemplasi, supaya kejernihan mengisi relung hati yang terdalam.

Kutipan Serat Kalatidha bab ke 7 akan megakhiri tulisan ini :

Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudhi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Beja bejaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada

Semarang 7 Juni 2024
Oeoel Djoko Santoso

Editor:Vladimir Langgeng
Sumber:

Artikel Terkait