Cerita dari Borobudur

6 Mei 2024, 08:04 WIB

Puncta 05.05.24

TIDAK ada habisnya belajar kebijaksanaan dari Candi Borobudur. Candi Budha ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra, zaman Raja Samaratungga tahun 824 Masehi. Pembangunan candi diperkirakan selesai pada abad ke 10 Masehi.

Berabad-abad lamanya candi itu hilang terkubur diduga akibat erupsi Gunung Merapi. Namun pada pemerintahan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal di Pulau Jawa tahun 1911, Candi Borobudur ditemukan dan direstorasi.

Salah satu pesan kebajikan yang ada di panel dinding Candi Borobudur adalah cerita tentang Burung Pelikan dan anak-anaknya. Nun kala itu dikisahkan ada kebakaran hebat, sehingga makanan ludes habis.

Burung pelikan harus memberi makanan kepada tiga anaknya yang masih kecil. Ia mencari kemana-mana tidak mendapatkan. Sementara itu ketiga anaknya kelaparan karena beberapa hari tidak disuapi.

Induk pelikan bingung harus menghidupi anak-anaknya. Maka supaya mereka tetap hidup si induk ini melukai temboloknya sendiri dan membiarkan anak-anaknya mencecap darah yang mengalir dari ibunya. Ia berkorban agar anak-anaknya bisa hidup.

Pelajaran moral dari burung Pelikan adalah tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang ibu yang berkorban demi anak-anaknya. Kasih seorang ibu sepanjang hayat bagi anak-anaknya.

Yesus lebih menegaskan lagi makna kasih itu, bukan hanya kasih seorang yang punya hubungan darah, tetapi kasih itu bagi siapa pun tanpa terkecuali.

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Yesus mengasihi kita sebagai sahabat-Nya. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.”

Ada istilah “Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan,” artinya bukan sanak bukan saudara tetapi kalau mati ikut merasa kehilangan.

Mengasihi sesama sedemikian sehingga walau bukan siapa-siapa namun bisa merasakan kehilangan sebagai saudara. Karena dalam relasi ini ada saling mengasihi.

Yesus mengasihi kita, yang awalnya bukan siapa-siapa, namun dirangkul sebagai sahabat-Nya, sedemikian besarnya sehingga Ia mati untuk kita. Seperti induk burung pelikan itu yang merelakan hidupnya demi anak-anaknya.

Betapa bahagia dan berharganya kita sehingga Yesus mengasihi sedemikian rupa. Jangan sia-siakan hidup kita untuk tidak mengasihi Dia.

Marilah kita hidup penuh makna agar kita layak dikasihi-Nya.

Sungguh manis buah nangka,
Hasil metik di kebun tetangga.
Hidup ini sungguh berharga,
Kita layak dikasihi oleh-Nya.

Cawas, kasih-Mu luar biasa
Alexander Joko Purwanto Pr

Editor:Vladimir Langgeng
Sumber:sesawi.net

Artikel Terkait