Curang, Perang

27 November 2024, 05:37 WIB

SOLO,LOKAWARTA.COM-Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Kota Surakarta mendorong masyarakat untuk memerangi kecurangan pemilihan kepala daerah / Pilkada 2024.

Tidak hanya diminta menolak politik uang dalam bentuk apapun, seperti amplop dam sembako, tapi juga diminta melakukan partisipasi aktif melakukan pengawasan serta melapor ke Bawaslu atau Gakkumdu jika melihat praltik politik uang

Dengan begitu, Pilkada akan lebih berbobot berjalan dengan baik serta menghasilkan pemimpin berkualitas, baik bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, maupun gubernur dan wakil gubernur.

“Personil Bawaslu itu sangat terbatas, karena itu saya minta teman-teman dari ormas atau lembaga lainnya untuk membantu kami dengam melakukan pengawasan partisipatif,” kata angĝota Bawaslu Solo ketika membuka pelatihan pemgawasan partisipatif, belum lama ini.

Politik Uang

Politik uang adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam pemilihan umum dan ataù pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pelanggaran Pilkada dalam bentuk politik uang jauh lebih banyak ketimbang dalam bentuk lainnya, misalnya intimidasi.

Dikutip dari situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), politik uang (money politic) adalah suatu bentuk pemberian (suap) atau janji agar memilih si pemberi atau tidak memilih calon lainnya pada saat pemilihan umum.

Sanksi bagi yang melakukan politik uang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, maupun Wali Kota dan Wakil Wali Kota, diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2016, yakni Pasal 73 UU Nomor 10 Tahun 2016

Bunyinya antara lain, alon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Bagi calon yang terbukti melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Bagi tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran politik uang dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar

“Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang menerima pemberian uang atau bentuk lainnya, misanya sembako,” kata Sarwono, pengamat politik lokal.

Kendati ketentuannya jelas dan sanksi atau hukumannya juga cukup berat, namum praktek politik uang terus saja berjalan di setiap Pemilu dan Pilkada yang digelar lima tahun sekali. Bahkan nilailnya makin lama makin banyak / besar yang dibagikan calon atau tim sukses bagi pemilih (konstituen). Cara pembagiannya pun makin vulgar dan tetang-terangan.

Hal ini terjadi lantaran penegakan hukum terhadap pelanggaran politik uang sangat lemah. Bahkan, politik uang atau uang yang akan dibagikan pada konstituen menjadi bahan guyonan para elite politik.

“Ada pemeo di masyarakat, selain kapasitas dan elektabilitas, yang perlu disiapkan calon kepala daerah adalah isi tas. Kalau isi tas nggak penuh, tidak usah nyalon, apalagi kini masyarakat juga makin prakmatis,” tandasnya.

Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan pelanggaran politik uang ini dibiarkan. Kalau Bawaslu dan Gakkumdu tidak tegas dalam menindak pelanggaran politik uang dan atau pelanggaran lainnya, tidak menutup kemungkinan masyarakat sendiri yang akan bergerak mencari keadilan.

“Harapan kita, jangan sampai ada perang di mata masyarakat karena ada kecurangan. Peran Bawaslu, KPU, dan Gakkumdu sangat dibutuhkan. Bawaslu harus berani,” pungkasnya.(*)

Editor:Vladimir Langgeng
Sumber:

Artikel Terkait