Dari Biji ke Cangkir : Kisah Perjalanan Pabrik Kopi Margo Redjo

25 Oktober 2024, 12:22 WIB

SAAT ini kopi sudah menjadi minuman wajib bagi sebagian masyarakat khususnya Gen Z, sebelum memulai aktivitas. Generasi muda saat ini percaya bahwa kopi bukan hanya sekedar minuman biasa, tapi juga sebagai simbol kecerdasan dan dinamisme, sehingga mereka bergantung pada kafein untuk meningkatkan produktivitas dan energi mereka.

Dan ketika kita minum secangkir kopi sebelum beraktivitas, mari kita ingat jejak sejarah legendaris Marga Redjo yang telah melestarikan tradisi produksi kopi selama satu abad.

Margoredjo awalnya didirikan pada tahun 1915 oleh Tan Tiong Le di Cimahi, Bandung. Namun, pada tahun 1924 beliau memutuskan untuk membawa pulang usahanya ke Semarang. Margo Redjo sempat berada di Jalan Dr Cipto selama dua tahun sebelum beliau akhirnya memutuskan untuk memindahkan pabrik ke rumah pribadinya pada tahun 1926. Yaitu Jalan Wotgandul Barat yang sampai saat ini masih beroperasi.

IMG 20241025 WA0083

Tempat ini jarang diketahui masyarakat karena tempatnya seperti rumah hunian biasa dan tidak terlihat seperti toko kopi pada umumnya. Pintu masuk tempat ini hanya terdapat satu gerbang dan papan penanda sederhana bertuliskan “Dharma Boutique Roastery” sehingga tidak banyak dilirik kalangan umum. Namun, setelah memasuki tempat yang berusia lebih dari satu abad, anda akan menemukan sebuah riwayat panjang dan kaya, terkait sejarah perkembangan kopi di Semarang. 

Suasana tempat ini juga sangat nyaman dan cukup ‘estetik’ dengan beberapa meja kayu, tanaman hias, dan pohon rindang yang membuat tempat ini tampak asri sehingga pengunjung betah berlama-lama menikmati secangkir kopi sambil bercengkrama. Pengunjung akan disuguhi berbagai macam jenis kopi yang bisa dipilih sendiri sesuai selera. Tidak hanya itu, pengunjung juga bisa menyangrai biji kopi yang sudah mereka pilih melalui mesin penyangrai berumur cukup tua.   

Dalam sejarahnya, ekspor kopi pertama Indonesia dilakukan VOC pada 1711 dan hingga pertengahan abad ke-19 kopi Jawa menjadi kopi terbaik di dunia (Ernawati, A., dkk. 2023). Marsha (2023) mengatakan bahwa setelah Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, berbagai lahan kopi dikelola oleh penduduk Indonesia dan ekspor tetap dilakukan.

Margo Redjo atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Dharma Boutique Roastery merupakan pabrik kopi legendaris di daerah Semarang. Bagaimana tidak? Pabrik kopi yang sekarang beralih fungsi sebagai warung kopi ini pernah menjadi salah satu pemasok kopi terbesar, yaitu sekitar 69% dari hasil total 326 ton biji kopi ke pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926.

IMG 20241025 121108

Kejayaan Margo Redjo datang tahun 1920-an. Pada saat itu, Semarang telah menjadi salah satu pusat pengolahan kopi terbesar di Hindia Belanda. Produksi kopi dari Margo Redjo tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga diekspor ke berbagai negara di Eropa.

Hubungan Margo Redjo dan Pemerintah Hindia belanda berjalan baik sehingga pabrik kopi ini bisa terus berkembang sampai pada akhirnya terjadi “Great Depression” yang besar yang mempengaruhi perekonomian dunia. Hal ini membuat ekspor kopi Margo Redjo mengalami penurunan. Terjadinya perang pada saat itu juga mempengaruhi penjualan kopi sampai pada masa akhir pendudukan Jepang ekspor kopi Margo Redjo berhenti total. Selain krisis ekonomi dan perang, terdapat masalah lain yaitu perekonomian rakyat.

“Pada saat itu rakyat menengah ke bawah ya kebanyakan, jadi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasa saja sudah sulit apalagi untuk beli kopi dan lain-lain” ujar pak Basuki, generasi ketiga yang memimpin pabrik kopi ini.

Namun, pabrik ini akhirnya kembali beroperasi. “Bisa dilihat dari dokumen-dokumen yang ada di museum, buka lagi tapi tidak bisa dalam skala besar”.

Di halaman belakang tempat ini terdapat mesin-mesin penyangrai kopi besar bermerk ‘Eureka’ buatan Belanda yang mampu menghaluskan biji kopi sebanyak 60 dan 120 kilogram. Hal ini menjadikan bukti bahwa Margoredjo pernah berjaya pada masa itu dan berhubungan baik dengan Belanda. Selain mesin penyangrai ‘Eureka’, masih terdapat beberapa mesin penyangrai kopi lainnya yang pernah beroperasi pada masa kejayaannya.

IMG 20241025 WA0084

Mas Vareen selaku tour guide menyebutkan, beberapa mesin harus diungsikan ke Keraton Surakarta agar mesin-mesin tersebut tidak diambil Jepang yang pada saat itu mengumpulkan besi untuk dilebur menjadi senjata. Semua mesin-mesin tersebut tersimpan rapi di ruangan bekas pabrik belakang halaman rumah sehingga pengunjung dapat melihat sendiri betapa besarnya mesin-mesin tersebut.

Seiring berlalunya waktu, banyak cafe baru bermunculan, Margo Redjo juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman saat ini. Pak Basuki mengatakan bahwa “Saat ini Margo Redjo sudah belajar dari masa lalu sehingga dalam mengembangkan usaha harus mengetahui apa keistimewaan kita dibanding usaha lain yang bergerak di bidang yang sama.”

Pak Basuki juga mengatakan bahwa untuk mempertahankan Margo Redjo adalah dengan menjaga kualitas kopi sebaik mungkin dan memberi pelayanan yang baik pula, serta penuh perhatian. 

Perubahan nama dari Margo Redjo menjadi Dharma Boutique Roastery merupakan langkah adaptasi yang bijak guna menjangkau segmen pasar lebih luas, terutama generasi muda yang lebih memilih kafein berkualitas tinggi. Dengan demikian, Margo Redjo bukan hanya sebuah warisan masa lalu, tapi juga sebuah destinasi wisata kuliner yang relevan saat ini. Keistimewaan produk-produk kopi tradisionalnya, kombinasi dengan pelayanan yang ramah dan profesional, menjadikannya siap menghadapi tantangan zaman depan dengan optimisme tinggi. (Nurul Nabila Putri, Mahasiswi Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang).

Editor : Vladimir Langgeng
Sumber :

Artikel Terkait