SARI tak menyangka kalau aku benar benar datang malam itu. Awalnya Sari menduga kalau aku hanya bercanda saja. Sebab, tak elok seorang laki-laki bertandang ke rumah perempuan tanpa suami dan menginap.
Namun karena sebelumnya Sari berjanji akan membukakan pintu jika aku datang ke rumahnya, Sari pun menepati janji dan menerima kedatanganku dengan senang hati. “Silakan masuk mas, sido mampir ke rumahku, to,” kata Sari usai membukakan pintu.
Setelah dipersilakan duduk di kursi yang banyak debu, aku dan Sari ngobrol ngalor ngidul. Kami bercerita soal masa lalu, saat bersekolah. Selama sekolah, aku dan Sari tak saling kenal apalagi tegur sapa, lantaran kami beda kelas, beda kasta.
Beberapa minggu sebelumnya, aku dan Sari dipertemukan dalam reuni sekolah. Meski baru pertama kali dipertemukan, kami cukup akrab seolah sudah lama kenal. Teman teman sekolah pun berpikir demikian.
Di rumah Sari, malam itu, kami berdua juga saling bercerita soal pekerjaan masing masing yang digeluti. “Sebenarnya saya ada janjian dengan teman di Kudus. Makanya mumpung di Kudus, saya menyempatkan diri mampir ke Jepara,” kataku yang disambut senyum oleh Sari.
Setelah cukup lama bercengkerama dan malam makin larut, aku yang merasa capek pamit untuk tidur di kasur yang sudah disiapkan Sari di ruang tamu. Namun sebelum ke kasur, saya menyempatkan untuk mencium kening Sari. Meski kaget, anehnya Sari tidak meronta dan tidak berteriak. Dia justru menikmati dekapan dan ciuman itu meski hanya dalam hitungan detik.
“Good night, selamat malam, selamat tidur,” kataku yang dibalas good night too oleh Sari. Kemudian, aku ke kasur dan Sari ke kamar tidur, menyusul anaknya yang sudah ada di dalam kamar.
Pagi hari saat subuh, aku bangun dan mandi, karena malam sebelumnya aku belum sempat mandi. Kuambil begitu saja handuk di kursi untuk kubawa ke kamar mandi. Ternyata handuk itu tidak baru yang disiapkan untuk tamunya, tapi handuk yang dipakai Sari setiap hari. Usai mandi, aku duduk-duduk di kursi ruang makan yang masih terang. Di situ, aku bermain hape.
Tak lama kemudian, Sari terbangun dan keluar dari kamar. Dia duduk di kursi sebelahku menghampiriku dan menawariku minum. “Mau minum kopi atau teh, mas,” tanya Sari. “Teh saja,” jawabku.
Sari pun beringsut dari tempat duduk menuju ke dapur menyalakan kompor memanaskan air untuk membuat teh. Lalu, Sari kembali ke ruang makan membawa teh manis yang tentu saja masih panas. “Monggo diminum mas mumpung masih anget,” kata Sari. “Iya yu,” jawabku.
Di ruang makan itu kami melanjutkan cerita semalam yang sempat terputus. Saat Sari bercerita tentang teman teman kelasnya, aku perhatikan dia. Aku pun berguman, cantik juga perempuan ini. Meski sudah 50 tahun lebih usianya, guratan cantiknya masih tersisa. Padahal dia belum mandi
Dan naluriku sebagai laki-laki pun muncul. Sesekali rambutnya kubelai. Kucoba kurapikan rambutnya yang awul-awul karena belum disisir selepas bangun tidur. Sari pun tidak protes dengan kekurangajaranku, justru dia menikmati belaian itu. Sesekali dia melirik ke arahku.
“Mas, makan dulu ya, semalam kan belum makan. Ayam bakar yang kubeli semalam tak panasane sik,” kata Sari memutus ceritanya. “Iya yu” jawabku.
Kami berdua menikmati makan pagi dengan lauk tahu goreng dan daging ayam bakar kesenangan Sari. Dia begitu lahap dan menikmati sarapan pagi itu. Sesekali aku meliriknya, di sela menyantap daging.
Usai makan, aku ke kursi ruang tamu, sementara Sari pamit untuk mandi. Diambilnya handuk setengah basah yang habis kupakai untuk dibawa ke kamar mandi.
Usai mandi dan berpakain bersih dan rapi, Sari menyusulku ke ruang tamu dan duduk di sebelahku. “Ketoke wis awan ya mas, matahari juga sudah bersinar,” kata Sari. “Iya yu,” jawabku.
Setelah berbasa basi, tiba-tiba Sari menyandarkan kepalanya ke bahuku dengan manja. Bukannya menghindar, tapi justru saya membetulkan posisi kepala agar tidak sakit atau tengeng (dalam bahasa Jawa). Kuelus juga pipinya, dagunya serta bibirnya yang masih lentik.
Aku merasa, dibalik ketangguhannya, perempuan ini butuh sosok laki-laki sebagai tempat untuk bermanja manja dan berbagi cerita. Butuh sosok laki-laki yang melindungi, mengayomi, dan memahami isi hati. Dan dugaanku benar.
“Mas, uripku saiki mung waton ngglundung, wis ora nduwe karep opo opo maneh. Sing penting aku iso ngeterke anaku rampung kuliah, wis ngono wae,” kata Sari sambil mengangkat kepala dan melirikku.
“Kok iso ngono to yu,” tanyaku menyelidik. “Aku wis entek entekan. Omahku ilang, bondoku entek diapusi mantan bojoku, aku kudu nanggung anak-anak sing isih sekolah,” lanjut Sari sambil merebahkan kembali kepalanya dengan manja.
“Ini kesalahanku juga, tidak mau mendengarkan nasihat orang tua dan kakak kakakku. Habis mau mau apa lagi mas, saat itu mata hatiku serasa tertutup kabut,” kata ragil dari tujuh bersaudara itu.
Kemudian Sari menceritakan panjang lebar, mulai dari bagaimana dia kenal dengan mantan suaminya, menikah dan dikaruniai dua anak, bagaimana mantan suami suka main perempuan, bagaimana dirinya ditipu mantan suami dan rumah pemberian orang tua disita bank, bagaimana mantan suaminya masuk penjara karena kasus penipuan, hingga dirinya menggugat cerai.
Kini Sari hidup di rumah kontrakan sederhana bersama anak perempuan di Jepara. Anak perempuan satunya lagi sedang kuliah di Semarang. “Untung saja aku ora edan mas,” kata Sari yang menahan air matanya yang menetes.
Aku terenyuh dengan nasib Sari yang dia ceriterakan. Kusibakan rambutnya, kudekap kepalanya dan kembali kucium keningnya. “Yu, kamu perempuan tangguh yang kukenal. Aku akan menemanimu dan melindungimu,” janjiku. “Terima kasih mas,” kata Sari.
Seperti rencana sebelumnya, kami berangkat ke makam Ratu Kalinyamat. Aku diantar naik motor lebih pagi oleh Sari karena aku harus pulang jam 10.00 WIB. Sejak awal aku memang ingin ziarah ke makam Ratu Kalinyamat sejak aku kenal ratu tersebut melalui literatur.
Selama dalam perjalanan menuju ke sana, aku menikmati betul kebersamaan dengan Sari. Di atas motor, kami kembali ngalor-ngidul. Apa saja bisa menjadi bahan pembicaraan, misalnya destinasi wisata di Kabupaten Jepara.
Namun dibalik canda dan tawa dalam perjalanan di atas Yamaha Mio, aku merasakan jantung Sari berdetak cukup kencang. Aku bisa merasakan itu karena duduk kami tanpa jarak, mepet banget.
Saya tidak bisa memastikan, apa yang terjadi pada Sari, apa yang dipikirkan Sari. Saya hanya menduga saja, dibalik ketegarannya, perempuan ini butuh sosok laki-laki untuk bermanja manja dan berbagi cerita. Laki-laki yang melindungi, mengayomi, dan memahami isi hati.
Sesampai di makam Ratu Kalinyamat, instingku juru warta mulai bergerak. Setelah jepret sana sini, aku tanya pada juru kunci. Bagaimana sejarah makam, berapa banyak pengunjungnya, dan apa tujuan mereka ziarah ke makam Ratu Kalinyamat. Tidak lupa, kami ke makam Sunan Jepara atau Abdul Djalil yang diyakini sebagsi Syekh Siti Jenar, yang berada dalam satu kompleks makam
Selesai ziarah, kami menuju Pantai Teluk Awur yang jaraknya tak begitu jauh dari makam. Di pantai yang berpasir putih itu, kami hanya sebentar, habis jepret-jepret langsung pulang, menuju pangkalan atau pool kendaraan travel.
Di ruang tunggu pool sambil menunggu keberangkatan, Sari kembali menyandarkan kepalanya ke bahuku. Seolah dia tidak rela aku pulang. Aku pun meliriknya dan ber kali-kali membelai rambutnya, mengusap keningnya yang berkeringat, dan memberanikan diri untuk mencium pipinya.
“Aku percaya kamu tangguh dan siap menghadapi semuanya. Sekali lagi, aku janji menemanimu dan melindungimu,” kataku.
Saat aku berdiri menuju kendaraan, Sari sempat memegang erat lenganku dan memandangku. Aku pun melangkah keluar menuju kendaraan dengan menggandeng tangan Sari. Sebelum naik mobil, aku kembali mencium kening Sari dan berucap,” Aku bali sik ya, yu… kapan-kapan kita bertemu lagi.
“Mas………,” kata Sari sambil melambaikan tangan melepas perjalananku.
Dalam perjalanan, aku berpikir jangan sampai baper apalagi terlalu baper. Aku harus menyudahi “dongeng” itu dan kembali dalam kehidupan nyata sebagai suami dan bapak dari anak anakku. Tugasku hanya memberi penghiburan, semangat, dan membesarkan hati Sari dalam menghadapi kehidupannya yang terkoyak. Jangan sampai masuk terlalu dalam pada kehidupan Sari, berbahaya.
Di luar kisah melankolis dalam drama sehari di Jepara itu, aku salut dengan perempuan tambun, putih cantik, dan berkaca mata itu. Kepadaku, Sari yang bernama lengkap Nurhapsari itu mengaku tidak risi dengan status jandanya, karena janda adalah takdirnya, bukan pilihan maupun keinginan.
Sari juga salut pada koleganya sesama janda yang bisa menikah lagi. “Berarti dia bisa melupakan sakit di masa lalu dan menerima orang baru. Aku bahagia, nyaman, dan tenang dengan hidupku sekarang,” kata Sari, yang hidup menjanda dengan dua anak perempuannya.
Ya, perempuan Jepara harus tangguh dan siap menghadapi tantangan. Seperti tiga wanita yang dijadikan monumen di kabupaten tersebut, Monumen Tiga Wanita Pejuang Jepara. Yaitu Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan Raden Ajeng Kartini. Mereka adalah pahlawan, pendekar, pejuang pengusir penjajah serta pelopor emansipasi wanita.
Tiba-tiba, aku mendapat pesan WA dari Sari. “Mas Lanang, matur nuwun ya aku ditiliki. Matur numun sudah mau berbagi dan mau mendengarkan kisahku. Salam kanggo mbak Rina, istrimu.” (*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |