LOKAWARTA.COM-Papua New Guinea (PNG) mungkin terasa jauh. Padahal tetangga dekat. Berbatasan langsung dengan Propinsi Papua. Namun, tidak banyak orang Indonesia, khususnya di luar Propinsi Papua, meliriknya.
Akses transportasi jadi salah satu kendala. “Direct flight” dari Indonesia ke PNG hanya ada satu penerbangan. Itu juga baru dibuka Juli 2023. Citilink menawarkan rute Denpasar-Port Moresby, waktu tempuh sekitar 4,5 jam. Terbang satu kali dalam satu minggu. Sayangnya, harga tiket cukup menguras dompet! Pilihan lainnya, terbang dengan maskapai Singapore, Qantas, atau Philipine Airline. Transit di Singapore, Brisbane atau Manila.
Transportasi darat dari Indonesia ke PNG hanya ada di sebagian kota perbatasan di Papua Barat. Misalnya Jayapura – Vanimo. Dari Vanimo ke Port Moresby atau kota lain di PNG, disambung dengan pesawat. Sebagian besar kota atau wilayah di PNG tidak terkoneksi satu sama lain via jalan raya. Pilihannya hanya pesawat. Apalagi pergi ke wilayah di luar “mainland”, misalnya Bougainville Island, selain pesawat, masih disambung “water taxi”. Lumayan ribet bukan?
Tinggal di Port Moresby, merupakan kesempatan mengenal kehidupan di PNG. Tentu tidak semua tergambarkan utuh. Karena PNG tidak dapat disimplikasi hanya dari Port Moresby. Pertanyaannya, apa yang menarik disini?
Jika kalian pecinta “shopping” atau “hangout” di mall atau café, bukan disini tempatnya. Port Moresby atau kota-kota lainnya di PNG bukan “surga” bagi penggila belanja. Namun, bagi pecinta alam, banyak tempat menarik. Hutan rimba, dataran tinggi, gunung dan perairan. Cocok untuk aktivitas seperti “trekking, hiking, snorkeling” dan “diving”.
Hiking dan trekking, keduanya jalan kaki di alam terbuka. Hiking biasanya menggunakan jalur yang sudah ada, dan lebih pendek jarak tempuhnya. Trekking, jaraknya lebih jauh dengan medan jelajah lebih variatif dan menantang.
“No shopping activities,” maka hiking jadi pilihan mengisi “weekend”. Salah satu lokasi bagus adalah Sogeri. Terletak di “Central Province”, sekitar 40an km dari Port Moresby. Terkoneksi jalan darat. Di kawasan ini terdapat jalur trekking terkenal, “Kokoda Trail”. Di masa Perang Dunia (PD) II, Kokoda menjadi lokasi pertempuran sengit antara Pasukan Sekutu dengan Balatentara Dai Nippon.
Meskipun tidak selegendaris “Long March” 9 ribu km Tentara Merah – Partai Komunis China pada masa perang saudara 1934-1936, namun “Kokoda Trail” cukup menantang. Melintasi medan terjal dan terisolasi sepanjang 96 km. Menurut para trekkers, waktu tempuhnya 4 hingga 12 hari. Tergantung kecepatan berjalan dan cuaca. Yang jelas, perlu persiapan memadai: fisik, perbekalan maupun peralatan.
Kami berenam berangkat dari Port Moresby sekitar jam 7 pagi. Melewati jalan meliuk-liuk bagai ular merambah perbukitan. Warga lokal menyebutnya “snake road”. Jalan beraspal dengan pemandangan asri. Banyak pohon di sepanjang sisi jalan. Beberapa titik jalan berhimpitan tepi jurang. Kita dapat melihat air terjun “Rouna” yang terkenal. Meski tidak sebesar “Grojogan Sewu,” tapi cukup indah dilihat dari jauh. Lumayan bagus untuk berfoto.
Tiba di Sogeri sekitar 1 jam kemudian. Di gerbang masuk, setiap orang dikenakan biaya 20 kina (sekitar Rp 80 ribu). Itu belum termasuk tips untuk “ranger” pendamping trekking. Mobil diparkir di area terbuka, tidak jauh dari “rumah dinas” para ranger tersebut.
Ada beberapa pondok kecil dibangun di area parkir. Dibangun tanpa dinding. Tersedia meja dan papan kursi panjang. Lumayan, jadi tempat istirahat sebelum dan selepas hiking. Sayangnya, tidak ada penjual makanan/minuman. Padahal situasinya sangat “nyus” buat menikmati mie instan dan kopi panas, hehehe.
Sambil melakukan peregangan, kami mendengarkan ranger menjelaskan rute hiking. “Morning tru olgeta. Guptla lo mitim yu. Welkam long Sogeri. Blo mi Ranger… Igat different way routes,” sambut ranger dalam Tok Pisin.
Terdapat pilihan rute berdasarkan jarak, waktu tempuh, dan kondisi medan. Misalnya 2 jam atau 4 jam dan seterusnya. Perlu dipahami, ukuran itu didasarkan pada waktu tempuh ranger yang terbiasa jalan cepat. Satu jam waktu tempuh ranger bisa berbeda dengan 1 jam waktu tempuh kita, heheheh.
Meski ke Sogeri, sudah pasti kami tidak memilih trekking di “Kokoda Trail.” Di usia saat ini, bukan waktunya lagi trekking dengan medan seperti Kokoda, hehehe. Pilihan yang realistis, ambil rute hiking dikawasan tepian hutan lindung.
Rute hiking berupa jalan setapak agak licin karena lumut dan embun. Di beberapa titik, jalan beririsan dengan aliran sungai kecil. Airnya bersih, gemericik. Lebatnya hutan nyaris membendung sinar matahari menelusup diantara rerimbunan pohon. Teduh namun cepat gerah karena lembab. Tidak butuh waktu lama, keringat bercucuran.
Jalur relatif aman. Tidak ada binatang buas seperti harimau. Namun populasi ular cukup banyak. Karena itu, disarankan memakai “snake gaiter”. Namun pakai atau tidak, ranger akan menanganinya jika bertemu si ular. Setiap seratus meter dipasang penanda jarak. Lumayan, selain sebagai informasi juga jadi penyemangat.
Tak terasa dua jam berlalu, akhirnya jalur hiking berhenti di lokasi favorit foto. Area terbuka dengan penanda ketinggian 833 meter di atas permukaan laut. Angin berhembus kencang. Hawa dingin menyergap. “Yu orait tasol?” kata ranger menanyakan kondisi. “Me orait.” Jawabku. Artinya baik-baik saja, meski sebenarnya “dengkul” ini serasa mau lepas, hehehe. Selepas melepas penat, kami bergegas jalan kaki lagi. Kembali ke lokasi “start”. Kali ini ritmenya lebih santai. Menjelang sore, baru pulang ke Port Moresby.
Demikian kisah “weekend” kali ini dari PNG. “Lukimyu” di cerita selanjutnya!
Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Saat ini, tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG). Menulis opini, cerpen dan kisah perjalanan. “Darah Juang, Ode untuk Alexandra”, kumpulan cerpen yang baru terbit.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |