SOLO,LOKAWARTA.COM-Parno adalah salah satu dari ratusan pemulung di tempat pembuangan akhir (TPA) Putri Cempo, Solo. Kendati hanya mengais tumpukan sampah, ternyata pendapatannya melebihi upah mimimum kota (UMK) Solo.
Hal itu terungkap dalam diskusi dengan Yayasan Gita Pertiwi bersama beberapa pemulung lainnya. Selain diskusi dengan para pemulung, yayasan berkonsentrasi di bidang lingkungan itu juga melakukan investigas di lapamgan.
Dalam sehari pendapatan para pemulung rata-rata bisa mencapai Rp 100.000 hingga Rp 150.000 dari sampah anorganik saja (kardus, kertas, kaleng dan laimnya). Harga itu bergantung pada pengepul sampah yang dapat naik ataupun turun.
“Aslinya, pemulung itu uangnya banyak. Sehari itu mereka bisa dapat sampai 100 ribu rupiah lebih lho, cuma gresek-gresek sampah di TPA itu,” ujar Parno salah satu pemulung di TPA Putri Cempo.
Ya, bukan nilai yang sedikit apabila pendapatan Rp 150.000 ribu tersebut ditekuni pemulung selama 1 bulan. Rata-rata pemulung bekerja setiap hari dengan begitu hitungan akumulatifnya dalam satu bulan (30 hari), pendapatan pemulung bisa mencapai Rp. 4.500.000. Lebih tinggi dari UMK Solo yang hanya Rp 2.269.070 saja.
Tak jarang pemulung mendapatkan barang-barang layak pakai seperti tas, baju dan fashion lainnya, bahkan beberapa masih tersegel rapat. Selain itu, sebagian pemulung mendapatkan keuntungan dari memelihara sapi hibah dari Pemkot Solo di TPA.
“Pemerintah dulu itu memberi bantuan sapi ke pemulung jumlahnya 2 dulu,” ujar Parno.
Selain Parno, ada pula pemulung yang memanfaatkan sampah organik untuk pakan babi, sapi atau magot. Pemanfaatan sampah organik itu bisa memangkas biaya produksi ternak mereka sehingga keuntungannya lebih banyak.
“Kalau saya biasanya ambil pakan dari TPA, sekalian mulung, ambil sampah organik yang masih bisa digunakan buat pakan ternak. Lebih hemat kalau ambil di TPA, gratis tidak bayar. Jadi keuntungan bisa dua kali lipat dari pada harus beli pakan diluar,” jelas Sudariyanto pemulung sekaligus memiliki ternak babi.
Tak main-main hasil ternak tersebut memberi pemasukan tambahan bagi pemulung hingga Rp 10 juta dalam waktu 6 bulan.
Akan tetapi bukan hal mudah menjadi seorang pemulung karena resiko yang dihadapi pun juga sangat menantang adrenalin. Hasil diskusi Yayasan Gita Pertiwi dengan pemulung mengungkap bahwa mereka naik turun gunungan sampah tanpa alat pengaman apapun.
Sedangkan 137.345,45 ton gunungan sampah (KLHK) dapat mengancam keselamatan pemulung. Modal nekat menjadi salah satu keyakinan mereka untuk menekuni Pekerjaan tersebut walaupun nyawa taruhannya.
Belum lagi panas matahari dan panas gas metana dari timbunan sampah mereka rasakan yang tak jarang membuat pusing kepala.
“Jadi pemulung itu juga susah. Meski duitnya lumayan, tapi tetep aja resiko tinggi. Panasnya itu tidak hanya dari matahari tapi yaa dari sampahnya, jadi double panasnya. Belum lagi kalau sampahnya longsor itu tambah ngeri lagi,” ucap Parno.
Bekerja dalam lingkungan yang penuh bahan berbahaya dan berdampak pada kesehatan, sebenarnya
pendapatan yang mereka terima tidak sepadan dengan resiko dan tantangan sebagai seorang pemulung. Yayasan Gita Pertiwi melihat, hal tersebut harus segera ada solusi praktis, untuk meningkatkan keamanan kerja pemulung.
Menurut Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti, pekerjaan pemulung itu mulia bagi lingkungan. Sehingga pemulung tak harus sampai mengorbankan keselamatan untuk hasil yang tak tentu tersebut.
“Pemulung adalah orang yang paling berjasa dalam pengelolaan sampah padahal risikonya besar. Sehingga perlu ada kebijakan seperti mengendalilan timbunan sampah dari aktivitas masyarakat karena tidak semua sampah laku bagi pemulung,” tandasnya.
Sebagai contoh sampah plastik yang tidak laku dijual, padahal 43% gunungan sampah adalah sampah plastik. Sampah-sampah tersebut apabila tidak terkelola di TPA dapat mengganggu kesehatan.
“Risiko lain, karena sampah yg tercampur untuk pemulung dapat berakibat pada kesehatannya dan potensi terpapar bahan beracun di sampah,” tegas Titik.
Melihat beberapa kondisi tersebut Gita Pertiwi mengambil langkah guna memberi pendampingan dan keamanan bagi pemulung. Audiensi dirasa perlu untuk menyuarakan keluh kesah pemulung yang sering dianggap sebelah mata. Sehingga pemerintah dapat segera mengambil solusi untuk masa depan pemulung
Selain itu, Yayasan Gita Pertiwi juga melakukan tindak lanjut dari pembangunan PLTSa yang memperparah kondisi kesehatan pemulung hingga warga sekitar.
“Pembagunan PLSA putri cempo yang akan membakar sampah tentunya akan mengurangi potensi sumber pendapatan pemulung. Selain sumber sampah juga lokasi yg mulai terbatas membuat jam kerja dibuat shift.”(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |