Keberadaan Keraton Tidak Berorientasi Profit, Tapi Benefit, Ini Penjelasannya…..

29 April 2024, 05:13 WIB

SOLO,LOKAWARTA.COM-Keraton, kata KGPHA Dipokusumo, didirikan bukan untuk tempat wisata. Karena itulah ada manajemen tersendiri di dalam keraton agar tidak sampai kehilangan martabat dan kehormatan, saat ada masyarakat yang berkunjung.

“Karena itulah keberadaan keraton harus bisa memberi manfaat bagi masyarakat banyak. Pendekatan yang digunakan adalah kebermanfaatan atau benefit, bukan lagi sebatas profit. Karena kalau profit hanya akan mengarah pada satu pihak. Beda dengan benefit, yang bisa dirasakan banyak orang,” lanjut Gusti Dipo.

Hal itu dikatakan ketika menjadi pembicara utama dalam diskusi publik bertajuk “Menjaga Pluralisme Kota” pada Sabtu (27/4/2024) di Baron House, Laweyan, Kota Solo. Dalam diskusi yang dipandu Yayok Aryosenon itu juga menghadirkan pemerhati budaya Mufti Raharjo.

Pengageng Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat menjabarkan, dengan keberadaan keraton, maka masyarakat bisa mendapatkan manfaat dengan berdagang berbagai barang di sekitarnya.

“Dari sisi PAD (Pendapatan Asli daerah) bisa jadi memang tidak ada anggaran yang masuk secara signifikan,” kata Adik Sinuhun Paku Buwono XIII ini.

“Tapi setidaknya dengan banyak orang yang berdagang, atau menjual jasa di sekitar keraton, hal itu bisa menjadi solusi tersendiri bagi pemerintah kota terkait pemenuhan kesejahteraan hidup warganya.”

“Karena itulah perhatian pemerintah terhadap kondisi keraton, menjadi hal penting sebagai bagian dari pengembangan pariwisata di Kota Solo,” terang Gusti Dipo.

Sementara Mufti Rahardjo lebih banyak menjabarkan pluralisme dalam diskusi tersebut. Dia melihat, pluralisme adalah sesuatu yang sudah ada di Solo sejak lama, di mana banyak nama kawasan yang mencerminkan kelompok masyarakat yang menghuni tempat tersebut.

IMG 20240429 050743

Pluralisme itu sudah ada di Solo sejak lama. Di sini ada yang namanya Sampangan yang banyak dihuni masyarakat dari Sampang Madura. Lalu ada Kebalen yang merupakan Kampung Bali. Kemudian ada kawasan yang banyak didiami orang-orang Arab, misalnya di kawasan Kedung Lumbu dan sekitarnya. Demikian juga dengan kawasan-kawasan yang lain,” ungkap Mufti.

Mufti Rahardjo setuju dengan pandangan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk selalu menjaga pluralisme. Menurut dia, pelestarian nilai-nilai budaya tetap harus dilakukan agar tidak sampai mendegradasi budaya yang ada.

“Namun demikian, pelestarian di sini bukan lagi sebatas menjaga, tapi perlu ada pengayaan atau enrichment. Karena bagaimanapun seiring perkembangan jaman, akan ada banyak hal yang berubah,” katanya.

Dengan pengayaan yang dilakukan itu, kata mantanbKabid Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Pemkot Surakarta itu, maka nilai-nilai yang selama ini dijalankan di masyarakat tidak sampai harus berubah total, namun bisa sesuai dengan kebutuhan.

“Pengayaan dilakukan dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dan bila kita bicara kesejahteraan tentu tak lepas dari masalah ekonomi,” kata pemerhati budaya itu.

“Di Solo dengan nilai-nilai tradisi budaya serta sistem religi yang ada, wisata spiritual adalah salah satu potensi. Dan sekarang bisa terlihat dari keberadaan Masjid Syeh Zayed yang banyak memberi dampak besar. Karena selama 24 jam didatangi pengunjung dari berbagai daerah,” tandasnya.

Ketua panitia diskusi, Erie Nurwandi Rofiq sekaligus koordinator Arus Bawah Solo (ABS) mengatakan, pluralisme sangat dibutuhkan untuk kemajuan sebuah kota. Namun demikian tetap harus ada batasan tertentu yang dipatuhi terutama dari aspek budaya dan sejarah.

“Kita melihat bahwa aspek budaya dan sejarah tetap harus dipegang agar sebuah kota tidak kehilangan jati dirinya di tengah pluralisme yang ada. Karena itulah lantas kita terpikir untuk menggelar acara diskusi ini, dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang berkompeten,” jelas Erie saat ditemui di sela-sela acara.(*)

Editor : Vladimir Langgeng
Sumber :

Artikel Terkait