Kisah Waldjinah dan Batik Ratu Kembang Katjang Difilmkan

31 Maret 2022, 15:26 WIB

LOKAWARTACOM,SOLO-Berkarir sejak usia 12 tahun, pada 1958, Waldjinah memberanikan diri mengikuti kontes Bintang Radio di RRI. Nah, sejak itulah Waldjinah mulai memakai kain batik. Dan batik-batik yang dipakainya di zaman dulu masih tersimpan rapi hingga sekarang, meski sudah ada bagian yang robek karena termakan usia.

Motif Kembang Kacang adalah motif favorit Waldjinah. Pada festival nyanyi yang kali pertama diikuti itu, Waldjinah menjadi juara pertama dan mendapat julukan sebagai Ratu Kembang Kacang.  

Ya, nama Batik Kembang Kacang sebagai penanda awal karir si walangg kekekk menuju penyanyi keroncong profesional.

Ada kisah menarik dibalik batik kembang kacang ini. Berasal dari keluarga pembatik, saat mengikuti festival Bintang Radio. Waldjinah diberi kain batik motif sandang pangan oleh saudaranya. Batik tersebut dibuat oleh keluarga jauh sebelum Waldjinah mengikuti kejuaraan. 

Kain batik ini berusia hampir 100 tahun ini memiliki kisah yang begitu dalam bagi Sang Maestro Keroncong

Hingga saat ini, Waldjinah masih menyimpan pola-pola batik peninggalan dari ibunya, mbakyu-nya (kakak perempuan)  dan kang mas nya (kakak laki-laki). 

Kain batik terus dikenakan Waldjinah hingga saat ini. Bahkan setiap tahun, sebagai penghargaan untuk sang Maestro, setiap 17 Agustus Waldjinah mendapat undangan untuk ikut upacara di Istana Negara, ia tetap mengenakan kebaya dan kain batik. 

Selain motif Kembang Katjang, Waldjinah terus mengenakan batik-batik tulis buatan keluarganya dalam berbagai kesempatan. Seperti motif Kembang Kantil yang dikenakan oleh Waldjinah saat mendapatkan penghargaan sebagai Ratu Keroncong Indonesia dari Presiden Pertama RI, Soekarno tahun 1965. 

“Kain batik tulis motif Kembang Kantil merupakan lambang cinta manusia kepada Tuhan dan kepada sesama,” tutur Waldjinah. 

Saat mengikuti kejuaraan tersebut Waldjinah dalam kondisi hamil dan mendapatkan nama dari Presiden Soekarno untuk sang anak, Bintang. 

“Tidak hanya Presiden Soekarno, waktu Wali Kota Joko Widodo kami mendeklarasikan Solo sebagai Kota Keroncong bersama almarhum Gesang,” ungkap Waldjinah.  

Bukan tanpa alasan, kain – kain batik yang dikenakan saat tampil menyanyi sebagai lambang kecintaan waldjinah pada Indonesia. 

“Kain batik yang dibuat oleh kakak saya pertama kali dikenakan ketika menyanyi di Istana Negara pada saat upacara peringatan Kemerdekaan 17 Agustus,” jelas Waldjinah. 

Setelah itu pada setiap upacara peringatan kemerdekaan Waldjinah selalu mengenakan batik motif Gurdo, antara lain : Motif Bima Kurda yang dikenakan Waldjinah saat memenangkan lomba Bintang Radio. Bima memiliki makna hebat dn kuat dan kurda atau garuda merupakan lambang negara Indonesia.  Motif Kurda Truntum dan Gurdo Ageng, Motif Garuda latar Truntum dan Kurda Ageng. 

Motif Payung merupakan motif akulturasi budaya jepang yang menggambarkan keelokan dan pengayom.  Polanya adalah peninggalan keluarga Waldjinah yang dibuat tahun 1950 an.  Motif langka dan ekslusif ini diwujudkan menjadi kain batik yang indah, detail dan cantik dengan warna alam sogan. 

Motif Ikan Koi juga pola peninggalan keluarga Waldjinah. Dibuat pada 1 September 1958. Motif Ikan Koi adalah akulturasi budaya jepang yang memiliki pesan pembawa keberuntungan untuk pemiliknya. 

“Nama-nama batik ini saya ambil berdasarkan kecintaan pada negara tercinta,” katanya.  

Dengan memakai kain yang dikenakan hingga di luar negeri,  Waldjinah mengungkapkan pernah mengalami pengalaman unik. 

“Orang luar negeri yang bertemu selalu menyebut saya Indonesia, walau tidak tahu nama saya. Terus saya berpikir kalau mereka mengenal orang Indonesia dari batik jadi sampai sekarang saya pakai kain,” kenangnya.  

Selama berkarir Waldjinah telah menyanyikan 1600 judul lagu. Selama itu pula Waldjinah selalu mengenakan batik sebagai identitas busana Indonesia. 

Terdapat kurang lebih 500 motif batik yg sudah menemani perjalanan karir Waldjinah. Seluruh kain batik tersebut kini terawat baik di Galeri Walang Kekek. 

“Pesan saya untuk generasi muda jangan melupakan batik dan sejarah menyanyi keroncong. Karena batik dan keroncong itu kepunyaan kita sendiri, harus di uri-uri,” pesan Waldjinah. 

Nah, untuk mengenang perjalanan sang maestro keroncong dari Solo, Maleopict Production House merilis sebuah film pendek. Rilis film diadakan di Galeri Batik Walang Kekek yang beralamat di Jl. Parang Cantel No 31 Mangkuyudan, Surakarta.

Film pendek tribute to Maestro Keroncong Waldjinah mengambil setting Kota Solo dengan setiap sudutnya yang memberikan rasa hangat sebagai ‘rumah’. 

Film pendek yang juga mendapat dukungan dari Bank BNI ini mengangkat citra Waldjinah yang selalu mengenakan kain batik (jarik) dan kebaya sejak ia mulai berkarir di dunia seni musik keroncong. Meski zaman terus berubah Waldjinah dan kebaya nya tidak berubah.  

Produser film dokumenter Waldjinah, Irama Batik Ratu Kembang Katjang, Aria Bima mengungkapkan, sang maestro ini terus mentradisikan, mempopulerkan batik untuk disukai oleh rakyat Indonesia. 

“Sejak beliau menyanyi pertama kali tahun 1958. Beliau tidak hanya maestro keroncong. Tapi ternyata pas saya lihat kedalaman beliau mengenai seni itu luar biasa. Tidak hanya membawa seni keroncong sebagai ekspresi jiwa bangsa kita tapi juga membawa ekspresi batik yang merupakan peninggalan para leluhur kita yang ternyata batik ini sangat korelatif dengan jiwa nasional negara kita,” ungkap Aria Bima. 

Film dokumenter ini dapat dinikmati melalui tautan berikut : https://youtu.be/7z3OUf3y9gI

Editor : Vladimir Langgeng
Sumber :

Artikel Terkait