Puncta 02.09.22
Jum’at Biasa XXII
Lukas 5: 33-39
SAYA pernah terkejut ketika melayat di suatu tempat. Kami yang datang diundang untuk makan bersama. Kalau di tempat lain, dalam suasana perkabungan seperti itu tidak ada hidangan.
Kalau pun ada kadang hanya sepotong roti atau permen di piring. Bahkan kadang orang hanya datang sebentar, duduk mengobrol lalu pamitan pulang.
Lain lagi di pedalaman Kalimantan. Upacara perkabungan bisa berhari-hari. Minimal tiga hari dilakukan upacara.
Mereka yang datang diajak makan dan minum. Ada tuak atau arak disuguhkan. Di dalam rumah ada suara gamal ditabuh dengan nada khusus untuk perkabungan.
Bukan nada begendang untuk tarian pesta. Jenis pukulan gendang berkabung disebut betipak.
Pada hari penguburan akan disajikan kue dari ketan yang ditumbuk namanya topong. Juga ada bubur dari tepung ketan yang berbentuk bulat kecil-kecil dicampur santan, madu dan lemak babi.
Lain tempat lain adatnya. Hal itu bisa terjadi karena cara pandang yang berbeda-beda.
Ada yang memandang kematian sebagai saat berdukacita. Kita ikut berbelarasa, tidak makan dan tidak minum.
Ada yang memandang kematian sebagai kelahiran baru dalam Tuhan. Orang hidup dalam kemerdekaan dari duka derita di dunia. Kemerdekaan yang membawa sukacita, maka ada pesta ria.
Dialog Yesus dengan kaum Farisi tentang puasa juga menunjukkan cara pandang kedua belah pihak yang berbeda.
Kaum Farisi berpuasa karena menjalankan kewajiban, aturan agama. Hukum Taurat mewajibkan orang berpuasa. Mereka menjalankan hukum agama.
Yesus mengajarkan puasa dalam hubungannya dengan Allah. Relasi Allah dan manusia itu digambarkan dengan pasangan mempelai pengantin.
Yesus sebagai mempelai, para murid atau Gereja sebagai pasangan-Nya.
Ketika mempelai sedang bersama, semua bersukacita. Ketika Sang Mempelai diambil, saat itulah mereka berpuasa.
Ketika kita jauh dari Tuhan, saat itulah semestinya kita berpuasa, bertobat, berprihatin dan bermati raga.
Kita sedang mengalami “disolasi” kekeringan rohani, merasa jauh dengan Tuhan. Pada saat seperti itu kita membutuhkan pertobatan, berpuasa dan laku prihatin.
Puasa bukan hanya sebuah kewajiban agama, tetapi laku batin agar semakin dekat dengan Tuhan.
Kalau saat puasa kita malah menindas dan membenci sesama, menghilangkan rejeki orang, mengobrak-abrik dagangan, itu malah menjauhkan semangat puasa.
Puasa adalah pengendalian batin, mengekang hawa nafsu dan menyucikan hati agar bersih di hadapan Tuhan.
Puasa adalah laku prihatin, mati raga agar bisa mendekatkan diri kembali pada Tuhan.
Puasa adalah usaha membangun relasi yang putus dan kembali kepada Tuhan.
Mari kita berpuasa untuk lebih mendekatkan relasi dengan Tuhan, bukan sekedar menjalankan aturan kewajiban.
Naik kereta ke Surabaya lanjut ke Pasuruan.
Melihat sawah-sawah kering tidak kena hujan.
Berpuasa bukan sekedar menjalankan aturan,
Tetapi semakin hidup baik di hadapan Tuhan.
Cawas, bermati raga dan perasaan…
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |