Mekanisme Upah Minimum yang Adil di Jateng : Menyatukan Data, Keadilan, dan Daya Saing

12 Oktober 2025, 16:20 WIB

KEBIJAKAN upah minimum di Jawa Tengah memasuki babak krusial menjelang tahun 2026. Di tengah inflasi yang belum sepenuhnya terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang mulai stabil di kisaran 5 persen, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) serta Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) bukan lagi sekadar keputusan administratif. Ia adalah indikator moral, ekonomi, dan sosial—tentang seberapa jauh kita menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.

  1. Data Tak Pernah Berbohong: Tren dan Formula yang Harus Diikuti

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), UMP Jawa Tengah tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 2.169.349, meningkat 6,5 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini konsisten dengan tren tiga tahun terakhir, di mana UMP tumbuh di kisaran 6–7 persen per tahun—didorong oleh inflasi bahan pokok, stabilisasi daya beli, dan dinamika perundingan tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, formula upah minimum bersifat objektif—mengacu pada nilai inflasi atau pertumbuhan ekonomi provinsi, mana yang lebih tinggi. Jika proyeksi 2026 menunjukkan pertumbuhan ekonomi 5% atau inflasi 6%, maka UMP diperkirakan naik ke kisaran Rp2,28–Rp2,30 juta. Kenaikan ini bukan hasil kompromi politik, melainkan konsekuensi matematis dari kebijakan berbasis data makro dan survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang diolah oleh Dewan Pengupahan Provinsi.

  1. Disparitas Wilayah dan Realitas Sektoral: Dua Dunia dalam Satu Provinsi

Namun Jawa Tengah tidaklah homogen. Data menunjukkan kesenjangan upah sektoral yang makin lebar antara kawasan industri dan daerah agraris. Di Semarang, Demak, Jepara, dan Kendal, pusat manufaktur dan logistik mendorong UMK sektoral hingga Rp3,4–Rp3,6 juta pada 2026. Sebaliknya, di kabupaten berbasis pertanian seperti Grobogan, Wonosobo, dan Banjarnegara, upah masih bertumpu di batas UMP provinsi.

Fenomena ini mengingatkan bahwa keadilan upah tidak cukup ditakar dari angka minimum, tetapi harus dilihat dari struktur produktivitas, nilai tambah, dan kemampuan sektor. Kebijakan struktur dan skala upah internal perusahaan menjadi kunci. Perusahaan yang mampu menghargai kompetensi dan loyalitas pekerja akan melahirkan produktivitas tinggi—bukan sekadar mematuhi regulasi, tapi membangun budaya kerja yang berkeadilan.

  1. Regulasi Tanpa Pengawasan adalah Ilusi

PP No. 36/2021 dan Permenaker No. 16 Tahun 2024 telah menegaskan bahwa setiap perusahaan wajib membayar pekerja sekurang-kurangnya setara UMP/UMK, sementara pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun harus mendapat upah sesuai struktur skala internal. Pelanggaran terhadap ketentuan ini bukan sekadar kesalahan administratif—ia mencederai hak dasar pekerja dan berpotensi memicu sanksi hukum.

Namun di lapangan, ketimpangan kepatuhan masih lebar. Survei lapangan di sektor garmen dan logistik menunjukkan sebagian perusahaan menunda penyesuaian UMP karena tekanan biaya produksi dan lemahnya pengawasan daerah. Inilah saatnya pemerintah provinsi memperkuat fungsi audit pengupahan dan pengawasan Disnaker, bukan sekadar seremonial tahunan. Kepatuhan harus menjadi instrumen keberlanjutan usaha, bukan beban regulatif.

  1. Antara Keberlanjutan Bisnis dan Martabat Pekerja

Kenaikan upah sering dianggap momok bagi pelaku UMKM, yang merasa margin mereka tergerus. Namun data empiris menunjukkan bahwa upah layak justru meningkatkan daya beli lokal, memperkuat sirkulasi ekonomi, dan menekan tingkat kemiskinan pekerja produktif. Pekerja yang sejahtera menciptakan pasar domestik yang kuat—motor pertumbuhan yang berkelanjutan. Dengan kata lain, upah minimum bukan sekadar biaya tenaga kerja, melainkan investasi sosial.

  1. Rekomendasi: Membangun Ekosistem Upah yang Transparan dan Inklusif

Agar kebijakan upah minimum 2026 benar-benar adil dan berdaya saing, tiga hal harus dikedepankan. Pertama, transparansi data dan formula. Pemerintah harus membuka perhitungan makro (inflasi, PDRB, KHL) secara publik agar setiap pihak memahami logika di balik angka UMP. Kedua, pendalaman struktur sektoral. Dewan Pengupahan perlu memperluas survei lapangan agar kebijakan UMK dan UMSK merepresentasikan realitas produktivitas dan biaya hidup di tiap wilayah. Ketiga, kepatuhan dan inovasi upah di dunia usaha. Dunia usaha perlu menerapkan skala upah berbasis kinerja dan produktivitas, bukan sekadar minimal compliance.

Upah Bukan Sekadar Angka, tapi Cermin Keadilan Sosial

Ukuran keberhasilan kebijakan upah minimum tidak hanya dilihat dari berapa rupiah kenaikannya, tetapi dari seberapa banyak keluarga pekerja yang mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. Ketika data, empati, dan disiplin kebijakan bertemu, Jawa Tengah bisa menjadi model provinsi dengan tata kelola pengupahan yang adil, adaptif, dan berkelanjutan.

Keadilan dalam upah bukan utopia—ia hanya menunggu keberanian semua pihak untuk menjadikan data dan nurani berjalan beriringan. Dan di sanalah, masa depan ekonomi manusiawi Jawa Tengah sesungguhnya dimulai.(Bima Hermastho, Direktur Indonesia Human Capital Management Institute)

Editor:Vladimir Langgeng
Sumber:

Artikel Terkait