JOGJA,LOKAWARTA.COM-Di bawah rindang pohon mangga menghadap jalanan, kesempatan demi kesempatan, ajakan-ajakan perlahan ditawarkan, lantas dipercakapkan di atas meja pada sebuah wedangan.
Satu per satu yang terpanggil datang. Tentu, juga mereka yang awalnya asing. Sedikit banyak nama dan latar belakang mulai saling membagi dari jabat tangan. Hingga tiba saatnya, mereka sepakat untuk merawat keakraban dengan sebuah kegiatan dalam tajuk: Sinergisitas Antar Lintas.
Sebuah acara di gelar di Galeria Bedhag Pratanggapati, Papahan, Karanganyar, pada 5 Agustus 2023.
Lewat pukul yang kerap disebut dengan akrab sebagai makan siang, orang-orang mulai datang.
Pada sebuah bangunan dengan lapisan cat warna putih yang menjelma sebagai wahana. Terpajang dengan rapi di dinding dekat pintu gerbang karya fotografi dari tuan rumah yang menggelarkan beragam cerita.
Satu per satu warisan ilmu dari seorang Begawan diwartakan. Komposisi yang telah dilatihkan, siang itu dibawakan. Beberapa judulnya antara lain “Batas Cakrawala”, “Cinta dan Karma”, “Pagi Bersama Burung Gereja”, dan “Menyambut Sang Pencerah”. Dilagukan oleh Puan dengan pemusik anak-anak atas besutan tangan dingin seorang Tuan yang setia terhadap nyanyian dan bebunyian.
Panggung yang tergelar kala siang itu seolah terasa menjadi ziarah kecil. Di mana para penonton di ajak oleh penyaji untuk bersentuhan dengan romantika dinamika hidup perihal cinta, kasih, pengabdian, dan suka-cita atas pengalaman batin dari sang Begawan melalui rangkaian kata yang ditinggalkan. Kiranya menjadi kemewahan tersendiri bagi siapapun mereka yang pergi dengan meninggalkan karya. Dalam rupa apapun.
Barangkali budaya tutur dan apresiasi dapat menjadi sebuah teknologi yang humanis untuk menghidupkan sesuatu yang tampak mati. Menapak tilas masa silam melalui percakapan-percakapan yang intim, hingga kemudian menjadi pesan yang tak pernah padam. Tentu, rapalan do’a bersemayam di setiap harmoni syair beserta nada.
Petang menjelang, ruang di tata ulang. Kursi dan meja di tata sedemikian rupa. Seolah menandakan sebentar lagi akan ada perbincangan di sana.
Kegiatan bercocok tanam—gagasan, keresahan, dan pengalaman—perlahan digerakkan laiknya sambatan (baca: wujud dari sikap masyarakat pedesaan yang suka menolong dan peduli terhadap sesama). Beberapa hal dibicarakan. Termasuk spirit-spirit yang baik ditegaskan dengan perlahan.
Esok pagi matahari akan terbit kembali. Siap menjadi aksi tanam atau tanam-kembali, bagi para juru tani, praktisi, maupun pemerhati atas bibit-bibit yang telah dibagi, di ladang: Kopibusam.
Dupa menyala. Lalu, segala yang ada diajak seirama untuk mengheningkan cipta. Memanjatkan do’a. Alunan gender dan seruling Jawa, berpadu lirih di relung jiwa.
Kehidupan malam lingsir menyulam, sejak senja menjelma menjadi temaram. Suasana hangat di sapa oleh orkestra cangkir berisi jahe dan gagang secang. Sedang kopi dan teh turut ambil bagian menjadi pilihan sedari siang.
Dengan penuh kesahajaan, masakan makanan dan kesenian satu per satu disajikan. Puisi dipanggungkan. Wayang didekatkan. Tembang dan tatabuhan gamelan dihadirkan. Dalam dekapan bulan Sura yang penuh dengan—tanda dan makna.
Malam semakin dalam, dengan deru hingar-bingar denyut perkotaan dan cahaya Tinthir yang berpendar. Angin laut yang berhembus seolah tersemat isyarat: semoga daya menjadi nyala, atas kemewahan rasa dan cita yang senantiasa menggejala. Menggerakkan sekitarnya. (Bli. Misbahuddin, penulis)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |