Antisipasi Pelanggaran Pemilu 2024

16 Mei 2023, 15:28 WIB

PEMILU dalam hubungannya dengan demokrasi dapat dilihat sebagai salah satu pilar utamanya, maupun dipahami sebagai sarana dalam menjalankan demokrasi. Sehingga, baik buruknya demokrasi dapat dilihat secara sederhana dalam proses Pemilu yang dilaksanakannya. Oleh karena itu, asas penyelenggaraan Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus terus dijalankan guna menegakkan dan menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), tahun 2022 nilai Indeks Demokrasi Indonesia stagnan pada skor 6,71 poin sama seperti tahun sebelumnya. Indonesia menduduki peringkat ke-54 dari 167 negara yang diobservasi oleh EIU. Posisi Indonesia mengalami penurunan 2 peringkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tiga dari lima indikator penilaian yang diberikan oleh EIU ialah tentang Partisipasi Politik dengan nilai 7,22 poin, Kebebasan Sipil dengan nilai 6,18 poin, Pemilu dan Pluralisme dengan nilai 7,92 poin (detik.com, 02/02/2023).

Kondisi stagnasi Indeks Demokrasi Indonesia perlu menjadi perhatian, mengingat pada 2023 sudah memasuki agenda tahun politik menuju Pemilu Serentak 2024. Selain itu, indikator penilaian EIU tentang partisipasi politik, pemilu dan pluralisme di Indonesia memiliki nilai yang lumayan baik berada diatas 7,00 poin. Hal ini menandakan masih terjaganya kepercayaan dan partisipasi publik terhadap proses politik dan pemilu di Indonesia.

Proses partisipasi dan aspirasi publik dapat dilihat kaitannya dengan jumlah penggunaan internet di Indonesia. Sebagaimana diketahui, berbagai isu ekonomi, sosial, budaya dan politik baik lokal maupun nasional direspons dengan sangat cepat di ruang digital media sosial oleh rakyat. Bahkan tata kelola pemerintahan saat ini pun telah membuka kanal informasinya di ruang digital, dengan atas nama Lembaga Pemerintah maupun kanal informasi pribadi milik para pejabat publik ataupun tokoh politik. Hal ini menandakan ruang digital media sosial sudah menjadi ruang resmi bagi penyebaran informasi dan menjadi ruang untuk menghubungkan secara langsung antara pemerintah dengan rakyat dengan meniadakan sekat ruang dan waktu.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19% pada 2023 atau menembus 215,63 juta jiwa dari total populasi sebesar 275,78 juta jiwa (apjii.or.id, 10/03/2023). Sungguh begitu besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia, yang mana penggunaan internet tersebut banyak berpusat dalam akses media sosial dengan berbagai bentuk dari Facebook, Twitter, Instagram, Youtube hingga Tiktok.

Sudah pasti bahwa agenda kampanye dan pertarungan politik Pemilu 2024 akan merambah masuk ke dunia digital, mengingat media sosial menjanjikan lumbung suara pemilih, seperti yang sudah terjadi pada Pemilu sebelumnya. Menjadi ingatan bersama, Pemilu 2014 dan 2019 silam telah meninggalkan noda dalam demokrasi Indonesia. Sebab begitu banyak disinformasi berita hoaks, isu politik identitas, ujaran kebencian dan semburan kebohongan guna menjatuhkan dan mendiskreditkan lawan politik bertebbaran secara masif di media sosial. Bahkan, berakibat menjadi sarana polarisasi rakyat menjadi dua kutub saling berlawanan.

Pengalaman tersebut menjadi pelajaran bersama agar esensi demokrasi dan tujuan Pemilu di 2024 tidak tergerus. Guna memilih para wakil rakyat dan pemimpin negara yang baik berdasarkan program yang ditawarkan bukan hanya berdasar atas rasa suka dan tidak suka apalagi karena mendapatkan sumber berita bohong atau hoaks.

Ruang digital dengan media sosialnya yang menjanjikan lumbung suara besar bagi para calon kontestan dan tim kampanyenya harus dijaga sedemikian rupa agar tetap menjadi ruang yang bersih tanpa adanya disinformasi berita hoaks dan semburan kebohongan. Integritas para calon kandidat dan tim kampanyenya perlu ditegakkan agar tidak melakukan penyebaran disinformasi secara sengaja hanya untuk kepentingan memenangkan kontestasi Pemilu saja, yang akhirnya mempertaruhkan dan mengorbankan rakyat dengan berita hoaks dan politik identitas. Hal ini harus menjadi kewaspadaan bagi lembaga pengawas pemilu guna menjaga netralitas, kesehatan ruang digital sebagai media kampanye serta kesiapan dalam pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu.

Perlu diketahui, pelanggaran Pemilu adalah tindakan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan peraturan perudang-undangan terkait Pemilu. Pelanggaran pemilu dapat berasal dari temuan atau laporan. Temuan pelanggaran Pemilu merupakan hasil pengawasan aktif oleh Lembaga pengawas pemilu atau Bawaslu dari tingkat Pusat hingga Desa dan pengawas TPS. Laporan pelanggaran Pemilu adalah laporan langsung dari warga negara Indonesia yang menpunyai hak pilih, peserta Pemilu, dan pemantau Pemilu. Peran rakyat atau masyarakat sipil telah diakomodir dengan hak melaporkan secara langsung adanya pelanggaran Pemilu kepada lembaga pengawas Pemilu.

Adapun yang jenis-jenis pelanggaran Pemilu berdasarkan UU No.7 Tahun 2017, terdapat 3 jenis pelanggaran Pemilu, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administratif, dan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran etika penyelenggara Pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. Pelanggaran administatif adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan Pemilu. Pelanggaran tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu (detik.com, 03/03/2023).

Upaya pencegahan pelanggaran Pemilu harus dilaksanakan secara masif terus menerus hingga Pemilu 2024. Digalakkannya literasi digital menjadi salah satu cara dalam mengedukasi rakyat pengguna internet tentang memverifikasi sumber informasi berita. Selain mengupdate teknologi dan kemampuan anggota lembaga pengawas pemilu dalam melakukan pengawasan di ruang digital media sosial. Jika rakyat yang memiliki hak pilih di satu sisi secara dewasa mampu menggunakan internet secara baik dan bijak, di sisi lain para pengawas pemilu memiliki kemampuan yang mumpuni dalam pengawasan pemilu, tentunya dunia digital media sosial pada pemilu 2024 nanti akan menjadi sehat dan bersih dari disinformasi berita hoaks dan ujaran kebohongan. Akhirnya, Pemilu berintegritas seperti yang diharapkan bersama akan terwujud dan kualitas demokrasi Indonesia dalam Pemilu 2024 nanti akan semakin lebih baik.(Bachtiar Rofi’i , Anggota Persatuan Alumni GMNI Kota Surakarta)

Editor:Arumi Chan
Sumber:

Artikel Terkait