MENJELANG Ramadhan di tahun Naga Kayu memasuki pekan kedua, sebuah dorongan bernuansa gagasan melintas dalam batin yang disampaikan oleh ‘lingsir angin’ melalui daun-daun Kamboja yang meranggas pada suatu ketika peralihan dari terang menuju petang-ialah yang kerap kali kita sebut selama ini sebagai senja.
Sebagaimana para petani yang setia terhadap benih dan media tanamnya. Juga, para penjaja tape yang memanggul raginya menuju Pasar Gedhe “Harjonagoro”-yang kerap tak kita sadari kehadirannya begitu datangnya setiap bulan puasa.
Pada gelaran perdananya, Ngaji Puisi berangkat dengan mengendarai warisan berwujud syair yang setia ditorehkan dari masa ke masa oleh Eyang Dharso, seorang pengembara yang kepadanya banyak orang kerap menimba air di sumur estetika.
Digelarnya di Wedangan Tinthir bukan serta merta semata di mana tempat orang-orang-orang di balik Ngaji Puisi biasa bermukim, melainkan ada semacam peneguhan untuk menguatkan, esensi dan energi, menjadi mantra sekaligus upaya yang memang merupakan bagian dari wujud karya tak benda Sang pengembara dan orang-orang baik di sekelilingnya. Pagelaran Ngaji Puisi dinisbahkan menjadi ibadah kebudayaan yang senantiasa ditasbihkan.
Ngaj Puisi, di mana puisi sebagai pintu dengan beragam cabang ruang untuk mengemas sekaligus menguraikan banyak hal. Di antaranya; cinta, gagasan, airmata, harapan, berbakti kepada Tuhan, mengasihi sesama, menjaga ketulusan, memperjuangkan keadilan, mengarifi alam semesta, menghormati ilmu, menghidupkan Pancasila, menghargai pertemuan, dan rajin srawung dengan tetangga di pos ronda.
Episode-episode dalam gelaran Ngaji Puisi sengaja mendayagunakan dari khasanah leluhur Nusantara, yaitu ; Kalathida, Kalabendhu, dan Kalasuba (baca : Trilogi Cakra Manggilingan, menurut Budayawan Raden Ngabehi Ranggawarsita). Selain sebagai upaya ‘memasyarakatkan-kembali’ nilai-nilai tradisi, hal ini sekaligus merepresentasikan masa kepenulisan dan perjalanan spiritual tatkala puisi-puisi tersebut ditorehkan.
Puisi atau sastra setidaknya menjadi wasilah di mana setiap pelaku maupun penikmatnya senantiasa bertafakur dalam rasa syukur.
Seorang sepuh kerap berkisah tentang pohon-pohon yang rutin menjatuhkan buahnya. Tidak peduli buah itu kelak dianggap apa oleh yang menemukan. Ada yang memungut untuk dijual. Ada yang mengambil untuk dimakan. Ada yang sengaja memanjat pohonnya untuk dipetik. Sementara, beberapa di antara sisanya, ada yang duduk di bawah pohon melihat buah yang jatuh kemudian menulisakannya menjadi rumus gravitasi.
Hidup dan perjalanan barangkali ibarat pohon itu sendiri. Sedang tak ada salahnya kiranya kita menduga, kini sudah tiba saatnya untuk kita menanam biji dari buah-buah yang telah kita terima. Buah kebaikan dari pohon Dharma dengan harapan: semoga berlipat ganda menjadi kebijakan dalam hidup dan kebajikan baru yang akan terus menjalar.
Demikian naskah repertoar pagelaran Ngaji Puisi yang dikompos lalu dipersembahkan oleh (Sinergi) Lintas-Komunitas. Kerumunan para ‘pensiunan-palagan’ yang bertopeng sebagai penikmat teh, kopi, atau wedang jahe yang biasa menggelar percakapan di bawah rindangnya pohon mangga di sebuah wedangan bernama Wedangan Tinthir “Mbah Dharso”.
Gelaran Ngaji Puisi digelar dalam tiga pekan secara berkelanjutan pada setiap Jum’atnya dengan para penyaji dan penyaksi dari pelbagai bidang serta latar belakang. Masing-masing episode menawarkan cita rasa dan nuansanya tersendiri. Sejak digelarnya episode perdana hingga ketiga, perkenalan dan pertemuan dalam Ngaji-Puisi menjadi cawan atas suka dan duka yang ditawarkan oleh puisi itu sendiri.
Rupanya, ia menemani dalam segala suasana batin kita. Sebab, sepertinya lebih banyak yang didapatkan selain untuk bertahan hidup, yaitu pelajaran-pelajaran yang terus bersambung, pengetahuan yang sedikit demi sedikit tersimpan ke dalam lumbung atas perjumpaan dari: siapa yang berkenan membagi pemaknaan atau sekadar bertamu dan berkunjung.
Gelaran Ngaji Puisi memuat tiga unsur besar di dalamnya, antara lain; Perjamuan Puisi, Silaturahmi Literasi, dan Kidung Sesaji.
Perjamuan Puisi, ketika puisi berdiri sendiri sebagai karya seni yang me-‘nunggak semi’ (baca : Nunggak Semi, mempunyai makna sebagai satu, menyatukan diri terhadap hal-hal yang bersifat ragawi, seimbang, dan saling melengkapi, Tesis S2 Wijayanto, R Danang Cahyo, 2019, ISI Surakarta) penyairnya sendiri.
Silaturahmi Literasi, di mana puisi menjadi suatu tema kecil yang diperbincangkan, direspon oleh para hadirin, bahkan kemudian direlasikan dengan hal lain di luar puisi itu sendiri. Sedang Kidung Sesaji, diniatkan sebagai bagian yang berperan untuk ‘meneguhkan nilai’ atas segala yang telah dilakukan dan pertemuan yang terjadi melalui puisi.
Gelaran Ngaji Puisi tahun ini dibawakan secara hangat oleh Berkah Cahyo Mujiono dengan Sarman Khan tampil sebagai delegasi dari ‘kanoman’ pada episode yang ketiga. Alfian Silvi Krisnasari sebagai mercusuar sekaligus representasi dari peran keperempuanan yang dengan santun membacakan repertoar pagelaran.
Tentu saja, tak lupa, Tatang Pangestu menjadi Juru Do’a yang diamanati oleh jajaran ‘kasepuhan’ (Sinergi) Lintas-Komunitas untuk menghantarkan suasana hening, dengan Rio Nofan sebagai tangan kanannya dari proses kirab tumpengan. Sedang Kiswanto tetap setia pada perannya bersama papan musikal sebagai penjaga gawang dari setiap produk bunyi yang akan tersajikan.Sementara kolaborasi jajaran ‘kepawonan’ antara Indro Ristanto, Adit, dan adhimas Ale menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh atas segala yang tersaji sebagai kudapan.
Kehadiran para penggiat dari ormas Pemuda Katolik dan BAMAG Kabupaten Karanganyar, rekan-rekan media kanal Info Warga Karanganyar (IWK), serta jajaran pamong dusun serta bapak-bapak paguyuban ronda RT setempat yang tidak sekadar ‘mangayu-bagyo’, menjadi satu hal yang tidak boleh untuk tidak disyukuri pada gelaran Ngaji Puisi.
Sebab, persambungan-persambungan semacam ini terkadang kerap luput dari dihelatnya sebuah agenda pertunjukan seni, di mana praktik sinergi atau kolaborasi juga seharusnya digejalakan dalam hal siapa-siapa yang hadir, bukan hanya siapa saja yang berada di mimbar, atau sejumlah nama-nama besar yang tersemat di poster. Karena ‘shohibu-baity’ sejati sebuah seni adalah masyarakat di luar orang-orang yang berdomisili dari ruang lingkup seni itu sendiri.
Dipandu dengan sentuhan dingin khas kesenian oleh Ki Dalang Kusnanta Riwus Ginanjar, sesi ‘Silaturahmi Literasi’ seakan mengilhami situasi setiap episodenya untuk mengajak para hadirin perlahan menyelami samudera makna dari puisi-puisi yang tersajikan.
Episode perdana “Kalathida” digelar dengan penyaji puisi oleh Eko Wahyu, Adi Sastranegara, Irfan Wahono, dan Heri Suwita Negara. Sedang pada pekan kedua episode “Kalabendhu” perjamuan puisi disajikan oleh Arko Kilat Kusumaningrat, Gading Suryadmadja, dan Perisandihuzche.
Kemudian, perjamuan puisi pada episode ketiga “Kalasuba” disajikan oleh Nafi Abdillah, Yusna Ququtus, Alfian Hasan, Lintang Kumala, dan Yuditeha dari Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar. Serta beberapa kerabat baik lain dari keluarga maupun relasi yang turut ambil bagian dalam gelaran Ngaji-Puisi, antara lain; Yayuk Amalia, Happy Lilis, Tatik Harpawati, Yudhis Pandhugeni, dan Hanung Suharsono.
Bersamaan dengan dikabarkannya episode yang ketiga, maka menjadi penanda bahwa gelaran Ngaji Puisi tahun ini telah tiba di penghujung rangkaiannya bersama kalender yang jauh hari diam-diam sudah dipesan oleh seluruh surat kabar untuk : saling menderma pengertian, permaafan, permakluman, maupun pemaknaan.
Walaupun tujuan pembacaan puisi sesungguhnya untuk mengapresiasikan puisi secara lisan, namun ada manfaat lain yang kadang dilupakan, yaitu di mana melalui pembacaan puisi justru dapat dibangun silaturahmi. Dengan terjadinya pertemuan banyak individu tentu akan menumbuhkan persahabatan, persaudaraan, kebersamaan, pertukaran informasi dan nilai, juga semangat “asah-asih-asuh” sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkadang lebih berharga dan bermanfaat dibandingkan puisi itu sendiri.
Melalui Ngaji Puisi, kemudian melahirkan narasi baru atau justru menguatkan sebuah tradisi di masa silam, bahwa puisi mampu mempertemukan manusia dengan banyak hal. Puisi (masih) bisa menjadi alasan secara personal maupun komunal untuk membuat sebuah ‘ruang jumpa’.
Puisi tidak selalu hanya menjadi barang pelengkap dalam sebuah etalase pertunjukan seni, atau tulisan omong kosong dari sekumpulan para pejalan sunyi yang terpinggirkan lantaran institusinya dianggap sebagai anak tiri, juga pilihan hidup yang tidak menawarkan keamanan secara ekonomi, sebagaimana era serba kemajuan teknologi memperlakukannya hari ini.
Tidak ada tujuan maupun tendensi yang disematkan teramat tinggi melalui tulisan ini. Sebagaimana ‘Kidung Sesaji’ mengakhiri dan mencoba mengarifi perjumpaan penuh maknawi malam itu dengan bunyi: “Semoga puisi, perlahan, senantiasa me-rohani dalam laku kita sehari-hari.”(Bli Misbahuddin)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |