SOLO,LOKAWARTA.COM-Seniman batik sekaligus pemilik Omah Kreatif Dongaji asal Yogyakarta, Nurohmad, memamerkan karyanya dalam “Pameran Batik Weton” di Gedung Prabangkara ISI Solo (15/12/2024). Pelopor inovasi canting cap kertas itu juga mempresentasikan bukunya “Kitab Batik Weton”.
Dosen Desain Mode Batik (DMD) ISI Solo Dr Arif Jati Purnomo dan Berryl Ilham dari Radio Buku Jogja menjadi pembicara dalam diskusi yang dimoderatori dosen Desain Mode Batik (DMD) Danang Priyanto. Para mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI Solo memenuhi diskusi itu.
Dalam bedah buku, Nurohmad menjelaskan ide dasar pembuatan batik weton miliknya, yang divisualkan dalam komposisi motif beserta aturan warnanya. Dia mem-visualkan warna warna berikut dengan simbol-simbol yang lekat pada hari dan pasaran. Selain arah mata angin dan warna, juga ada unsur-unsur gambar seperti binatang, burung, pohon dan elemen lainnya.
Istilah weton, bagi masyarakat Jawa, berkaitan dengan lima hari pasaran dalam penanggalan Jawa, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Pasaran tersebut disematkan di belakang nama hari-hari yang dikenal saat ini (pancawara), yakni Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad (Minggu).
Penyatuan hari dan pasaran didasarkan pada panduan penghitungan saptawara dan pancawara, serta ditempatkan secara berurutan dan berulang-ulang, berlaku selama 35 hari. Contohnya, Senin Legi, Selasa Pahing, Rabu Pon, Kamis Wage, Jumat Kliwon, Sabtu Legi, Minggu Paing dan seterusnya.
Kombinasi hari dan pasaran ini, oleh masyarakat Jawa, digunakan sebagai sistem penghitungan waktu, atau juga sebagai penanda lahir seseorang berikut dengan karakter bawaannya.
Nurohmad menjelaskan, secara kosmologis, pasaran memiliki arah angin dan menyimbolkan warna warna tertentu seperti :
Legi, bertempat di timur, mengandung unsur udara dan memancarkan cahaya putih.
Pahing di Selatan, mengandung unsur api dan memancarkan cahaya merah.
Pon di barat, mengandung unsur air dan memancarkan cahaya kuning.
Wage di utara, mengandung unsur tanah dan memancarkan cahaya hitam.
Kliwon di pusat (episentrum), mengandung unsur sukma atau jiwa dan memancarkan cahaya abu-abu.
“Batik weton ini mengukuhkan personalisasi batik, yakni proses mendesain dan memproduksi batik dengan motif, warna, atau tema yang disesuaikan dengan keinginan atau kebutuhan individu, organisasi, atau komunitas tertentu,” kata Nurohmad.
Dr Arif Jati Purnomo menambahkan, batik sebagai ageman mengandung nilai-nilai yang cukup dalam. Terkait kosep mandala adalah kiblat papat lima pancer. Menurut dia, menuangkan konsep pengetahuan tersebut ke dalam batik adalah pengetahuan tersendiri. Di antara kerumitan-kerumitan batik, terjadi kompleksitas baru dalam batik weton.
“Mereka mencoba membuat batik dengan algoritma atau pakem yang disesuaikan pada simbol-simbol yang terkandung dalam weton kelahirannya masing-masing,” kata Arif Jati.
“Ini sebuah percobaan yang patut diapresiasi dan patut ditiru. Sebab, eduanya, batik dan weton, adalah warisan ilmu yang sangat berharga untuk Indonesia dan dunia.”
Berryl Ilham dari Radio Buku Jogja mengatakan, mempelajari weton dan menuangkannya ke batik adalah cara kreatif dalam melestarikan pengetahuan. Weton sebagai penanda kesadaran ruang-waktu masyarakat Jawa merupakan alat bantu untuk membabar gelindingan nasib manusia, dari lahir sampai mati.
Nah, dari mana datangnya pengetahuan itu, menurut dia, itu dari statistika, yaitu, ilmu menghitung probabilitias dan tanda-tanda atas kemunculan perlambangnya.
“Ini adalah perwujudan dari pengamatan ratusan bahkan ribuan tahun atas hubungan fenomena jagat ageng makrokosmos dan jagat alit mikrokosmos,” kata Berryl Ilham.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |