LOKAWARTA.COM-Hujan lebat mengguyur wilayah Lempongsari Semarang dan sekitarnya, Jumat (24 November lalu. Di tengah hujan lebat itu tetangga depan rumah punya hajat menggelar wayang kulit memperingati ulang tahun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke-12.
Sehari sebelumnya sudah diadakan persiapan dengan pemasangan tratag yang dibalut warna merah putih semarak sekali. Kursi pun ditata rapih diselubungi warna senada dengan tratag.
Tentu saja meriah karena ada kegiatan bernuansa sosial seperti bazar untuk umum sekaligus menampilkan UMKM sebagai primadonan. Kebutuhan sehari-hari antara lain beras, minyak goreng, gula pasir, kopi, teh tersaji rapi. Setidaknya masyarakat terbantu meski sesaat. dengan kegiatan itu.
Sebelum menulis tentang pagelaran wayang kulit itu, saya telah mencari informasi ke OJK (diwakili Satpam dan panita ) apa lakon yang akan ditampilkan. Namun sampai 3 hari, jawaban tidak kunjung datang, hingga kemudian membuat sendiri lakonnya sebagaimana terpampang di atas.
Sebagai penggemar wayang kulit maupun wayang orang sejak kecil, ada perasaan gembira menyelinap di pojok ruang hati melihat orang zaman now masih peduli untuk nguri-uri budaya warisan leluhur yang adhi luhung.
Berlatar belakang budaya Jawa cukup kenthal, saya mengenal wayang dari eyang putri dan orang tua. Melihat ketertarikan saya tehadap wayang, kemudian bapak membeli buku-buku komik dan literatur mengenai seluk beluk pewayangan. Buku komik karangan Kosasih dan Teguh Santoso dengan illustrasi gambar yang sangat bagus, bisa saya lahap dalam sekejap.
Beranjak dewasa lalu berkeluarga, kecintaan saya pada seni wayang tidak pernah surut sampai sekarang.
Dulu, untuk mengisi waktu luang, pada saat masih SD bersama teman-teman sebaya, kami dikirim orang tua masing masing belajar “njoget” atau menari di daerah Argopuro, Candi Baru yang terkenal sebagai perumahan elit di zaman Belanda.
Di rumah bergaya kolonial milik keluarga alm Soedjono itu, pecinta budaya yang paripurna, belajarlah kami menari Jawa gagrak Solo, di bawah asuhan para ahli tari yang juga pemain wayang profesional dari Ngesti Pandowo Semarang yang terkenal di zamannya.
Di rumah kuno dengan pendopo luas di tengah halaman rindang yang sarat dengan pohon mangga itu, anak-anak berusia 10 tahun berolah tari dengan gembira tanpa kenal lelah.
Jarak antara rumah di kompleks RS Kariadi cukup jauh dengan tempat menari. Biasanya kita pulang berjalan kaki melewati kampung Ngaglik sebagai jalan pintasnya. Kadang melewati Jalan Gadjah Mungkur melewati Rumah Sakit William Booth yang lengang.
Ada benarnya kalau dikatakan bahwa pengenalan budaya akan membangun rasa nasionalisme yang kokoh agar tidak mudah goyah atas serangan dari luar.
Kembali pada topik semula yaitu sosialisasi oleh OJK yang nota bene lembaga pemerintah, melalui pagelaran wayang kulit sebagai sarana edukasi dan promosi UMKM patut diacungi jempol.
Selanjutnya penekanan pada fenomena yang akhir-akhir ini muncul di masyarakat, yang cukup meresahkan yaitu pinjaman on line alias Pinjol selama tiga tahun terakhir menjadi penting..Sudah banyak korban pinjol bertumbangan, mulai dari ibu rumah tangga, pengusaha kecil, anak muda sampai guru membuat hati kita miris.
Alasan peminjaman juga beragam dan sederhana, ada yang untuk memenuhi kebutuhan se hari-hari, ada pula sebagai uang jajan tambahan kala bergaul dengan teman-temannya agar lebih bergengsi
Supaya masyarakat mudah menerima informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, dari sebuah institusi yang berkompeten di bidang keuangan, maka pagelaran wayang kulitpun dikemas dengan apik sesuai selera kekinian tanpa mengurangi nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Sebagai pelengkap pagelaran tradisional tersebut wajib ada sentuhan yang sedikit seksi, sebut saja musik campursari, pop modern, dangdut yang bertujuan menarik minat masyarakat seluas-luasnya. Suasananya lebih hidup, dinamis, lebih bling-bling, kata anak muda. Masih di tambah kehadiran pesinden pesinden cantik, gandhes luwes, dan kenes yang mewarnai pagelaran malam itu.
Sebuah kejutan muncul melalui pesinden “bule” (orang asing dari benua seberang) yang cukup memukau dengan tembang cengkoknya yang cukup memukau nyaris sempurna (menurut telinga saya). Tidak kalah dengan kepiawaian pesinden senior, profesional dan asli Jawa yg berpengalaman.
Harus diakui selera pasar wajib diamati dengan jeli dan teliti, sebuah kolaborasi yang terjalin antara tradisional dan modern membutuhkan kecerdasan maupun cita rasa yang tinggi, sehingga hasilnya dapat dinikmati siapa saja mulai dari elit sampai akar rumput.
Sebagaimana dinyatakan Tri Wahyuni dalam bukunya “BUKU PINTAR WAYANG”, 2020, sejatinya ada 3 aspek yang ingin disentuh dari pertunjukkan wayang. Yaitu MAGIS, SOSIAL dan RELIGIUSITAS..Karena itu, bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa Krama Inggil (bahasa Jawa murni) yang sebenarnya sulit untuk difahami orang-orang yang hidup di alam digitalisasi ini.
Sang dalang tokoh sentral yang memainkan wayang kulit, dituntut untuk pandai memberi berbagai warna yang serius filosofis dipadu dengan kehidupan sehari-hati yang natural, penuh humor namun memiliki pitutur yang dalam.
Di setiap pagelaran selalu ada intermezzo, supaya penonton tidak jenuh mendengar dialog bermuatan filosofi yang cukup berat. Oleh karena itu sang dalang sebagai sutradara utama menampilkan adegan yg disebut “goro-goro”, yang terjemahan bebasnya adalah adegan heboh, meriah, riang gembira penuh canda tawa melalui karakter punokawan.
Biasanya, waktu yang tepat adalah tengah malam atau menjelang subuh saat dimana penonton sudah mulai diserang rasa kantuk yang berat.
Untuk menepis rasa kantuk inilah “goro goro” menjadi penawar yang mujarab.
Penyampaian pesan melalui guyonan anak-anak kyai Semar, Gareng, Petruk dan Bagong terasa lebih membumi dengan bahasa sederhana khas akar rumput. Ger-geran pun membahana, memecah sunyi yang dingin. Intinya, semua orang dapat terpapar oleh virus pinjol, bahkan sosok se sakti Rahwanapun juga bisa menjadi korban.
Dalam imajinasi saya, gara-gara perang bertahun-tahun antara Rahwana vs Rama myang dibantu ribuan pasukan kera di bawah komando panglima perang Hanoman, si kera sakti titisan Batara Bayu.
Rahwana habis-habisan mengerahkan segenap fund and forces nya, sehingga akhirnya kolaps secara phisik dan finansial.
Seandainya pinjol sudah eksis di zaman itu, tentu akan dimanfaatkan Rahwana guna mengatasi kebangkrutannya. Namun demikian, krisis keuangan/moneter suatu negara akan berakhir di ujung keterpurukan yang fatal.
Apa sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah langkah prudent wajib menjadi sikap seorang pemimpin negara, agar terhindar dari berbagai krisis.
Ki Dalang mengakhiri pagelaran dengan tancep kayon( gunungan dicabut dari dhebog), diiringi gendhing “Lancaran” sebagai pertanda pagelaran wayang kulit usai. Rahayu, Rahayu, Rahayu ingkang tinemu.
Semarang, 4 Desember 2023
Oeoel Djoko Santoso
Editor | : | Pilih Nama Editor |
---|---|---|
Sumber | : |