SOLO,LOKAWARTA.COM-Ada hal yang kontradiktif dibalik maraknya pembangunan infrastruktur di Kota Solo. Meski banyak pembangunan infrastruktur di Kota Solo, namun para kontraktor lokal justru mengeluh tak dapat proyek.
Menurut mereka, proyek-proyek besar di Kota Solo bernilai ratusan miliar hingga triliunan rupiah itu, seperti perbaikan jembatan Jurug, pembangunan rel layang Joglo, revitalisasi viaduk, revitalisasi Taman Jurug (Solo Safari) dikerjakan oleh kontraktor besar dari Jakarta atau luar daerah.
Sementara kontraktor lokal Solo yang kelasnya menengah dan kecil tidak mungkin mengerjakan. “Kita di sini yang di Solo, kontraktor kecil-kecil hanya jadi penonton saja,” kata ketua BPC Gapensi Surakarta Rudy Djauhari di sela pembukaan Muscab XI Gapensi Surakarta Rabu (15/2/2023).
Lantaran tidak mendapat karena kalah berebut, kalah lelang, dan kalah tender dengan kontraktor besar, banyak kontraktor lokal di Solo (baik menengah maupun kecil), banyak yang kukut, eh tutup. Menurut Rudy, sebelum pandemi covid-19, jumlah kontraktor anggota Gapensi Surakarta sebanyak 160 kontraktor, kini pasca pandemi tinggal 62 kontraktor.
Selain tidak mendapat proyek, lanjut Rudy, rontoknya kontraktor lokal iti karena tidak bisa memenuhi persyaratan administrasi yang diatur dalam regulasi yang baru yang dinilai terlalu memberatkan kontraktor.
Misal, dulu surat ketrampilan (SKT) bisa diberikan pada lulusan STM/SMK. Tapi kini harus kepada orang yang berpendidikan sesuai disiplin ilmu minimal diploma satu (D1). Lantaran di sini tidak ada lembaga pendidikan yang membuka D1 bangunan atau konstruksi, maka kontraktor terpaksa mengambil yang sarjana (S1).
Bagi kontraktor skala besar dan menengah, kata Rudy, persyaratan itu bisa dipenuhi. Namun bagi kontraktor kecil, hal itu sulit dipenuhi. Apalagi para kontraktor itu juga harus menggaji pegawai administrasi dan harus punya kantor. Padahal dengan menggaji tenaga terampil dan tenaga administrasi secara rutin sebulan sekali, minimal UMK, belum tentu mendapatkan proyek.
“Saya kira kondisi seperti ini tidak hanya di Solo tapi juga di berbagai daerah,” kata Rudy Djauhari yang mengakhiri jabatannya sebagai ketua dalam Muscab XI Gapensi tersebut.
Hal senada dikatakan Sriyana, ketua Gapensi Sragen. “Dari semula yang tercatat 70 anggota, kini yang aktif di Gapensi Sragen tidak sampai 30 kontraktor,” kata dia di sela Muscab.
Dikatakan, kontraktor yang mampu bertahan biasanya kontraktor skala menengah yang dikelola anak muda yang paham tentang teknologi digital. Sebab sekarang ini semuanya memakai digital atau elektronik. Mulai dari administrasi, lelang hingga, laporan.
Sementara orang tua yang tidak mau belajar teknologi dan enggan mememuhi persyaratan yang bersifat administrasi memilih untuk menutup perusahaan jasa konstruksinya, apalagi tidak jaminan mendapatkan proyek.
“Saya kira teman-teman kontraktor yang dapat proyek sudah tidak lagi bicara tentang laba. Sing penting mlaku, tukange iso kerjo lan bayaran,” kata Sriyana.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |