MENJELANG coblosan dalam Pilkada serentak 27 November 2024, suhu politik semakin panas di berbagai daerah di Indonesia. Menurut saya, ini disebabkan adanya residu dan effek samping Pilpres beberapa bulan lalu. Isue positif dan negatif berseliweran di media mainstream apalagi medsos yang berjumpalitan di dunia maya, nyaris tak terbendung ditambah lagi fenomena fufufafa yang semakin menggelora.
Siapa saja boleh berkomentar dan mendadak menjadi pengamat politik amatir atau karbitan tanpa data dan fakta sebagai landasan. Ratusan ribu WAG yang semula ajang paseduluran kemudian bermetamorfosa menjadi arena perdebatan yang keras bahkan sadis. Hoax tetap bertengger di atas, sulit digoyahkan sebagai pembawa berita bohong yang mampu menyulut permusuhan di ranah publik
Sebenarnya Pilkada sudah digelar puluhan kali tetapi nampaknya Pilkada tahun 2024 ini yang paling heboh dan sengit menyaingi perang Palestina – Israel yang tak kunjung surut. Lebih gila lagi, ketika ada ketua partai ber DNA Orba dengan enteng menyatakan bahwa boleh berlaku curang untuk memenangkan Pilkada Jateng. Opo tumon ???
Kejujuran nampaknya nyaris sirna ditelan bumi saat ini, lalu apa yang harus diajarkan pada anak cucu sebagai penerus calon pemimpin negeri ini. Gembar gembor meneriakkan Indonesia emas dua kali ya tidak berguna, justru kita malah akan menghadapi “Indonesia Cemas”.
Melihat kondisi yang tidak kondusif dan tidak sehat tersebut, memicu Prof FX Sugiyanto dari FEB Undip menulis di koran Suara Merdeka, 2 September, betapa pentingnya mengedepankan adu gagasan antar kandidat dalam membangun Jateng. Saran ini benar adanya, publik diajak lebih memahami substansi dari pada pasang baliho di mana-mana yang cenderung boros, tidak efisien.
Demokrasi kita sebenatnya demokrasi yang mendidik masyarakat menjadi kritis bukan criwis bin crigis. Saya mengalami Pilkada Jateng dengan kontestan Bibit Waluyo vs Ganjar Pranowo, yang merupakan Pilkada terbuka(memilih langsung ) pertama sesudah reformasi. Sebelumnya, Gubernur dipilih DPRD Provinsi, yang menghasilkan Ali Mufis, Mardiyanto, Bibit Waluyo (dua terakhir diusung PDIP ).
Saat itu no one knows who is Ganjar Pranowo, kecuali kalangan terbatas dan jajaran partai, dalam hal ini PDIP. Dengan elektabilitas yang hanya 3% (maaf tidak ingat angka pastinya ) akhirnya Ganjar mampu mengalahkan petahana Bibit Waluyo yang terkenal dengan jargon “Bali ndesa, mbangun desa”.
Senjata pamungkas yang dipilih Ganjar adalah pengusaan data dan fakta tentang Jateng dilengkapi kemampuan komunikasi politik dan public speaking yang memukau dan bernas. Sehingga menyebabkan para pemilih yang mungkin sudah bosan dengan tokoh senior(usia tua) menjatuhkan pilihannya pada Ganjar Pranowo yang segar dan keren.
Good looking, smart and handsome.
Pertarungan seru namun sehat dan fair tanpa cawe-cawe dari istana atau keterlibatan aparat penegak hukum. Presiden SBY, presiden ke 6 yang berkuasa selama 10 tahun benar benar lepas tangan, dalam arti membiarkan para jago bertarung dengan caranya sendiri. No bansos, no money politics, no intimidation as well. Udara Pilkada teduh, sejuk penuh kegembiraan, publik berangkat ke TPS pun penuh canda tawa.
Hasil Pilkada akhirnya memenangkan sosok muda penuh semangat dengan ideologi yang mantap. Tampilannya kekinian, keren, casual dengan meninggalkan baju safari yang kuno, kaku yang membuat orang pakewuh untuk mendekat. Sesekali memakai baju daerah nusantara untuk menghidupkan budaya dan persewaan pakaian tradisional.
Kunjungangan mas GP ke kampus Undip khususnya FEB, pada saat itu, mengindikasikan keinginan untuk bermitra dengan kaum akademisi dalam upaya membangun Jateng.
Sambutan mahasiswa luar biasa, meriah, akrab, hangat dan gayeng. Dengan bebasnya anak-anak muda ini “nglesot” di lantai sembari berdialog interaktif yang semarak khas anak muda gaul. Nyaris tak ada jarak, Ganjar malah enjoy, sehingga acara selesai mahasiswa-mahasiswi masih berebut berselfie ria dengan sang pemimpin baru.
Saya berharap Pilkada Jateng kali ini pun berlangsung sehat, adem, ayem tentrem, masyarakat tetap bersatu walau beda pilihan. Smart people glorifies democracy, not democrazy. (Oeoel Djoko Santoso, penulis)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |