JAKARTA,LOKAWARTA.COM-Pemerintah diminta tidak membuat kegaduhan di ruang publik. Sebab, kegaduhan itu kontraproduktif dengan program pemerintah membangun 3 juta rumah per tahun yang hingga kini belum ada kejelasan detail programnya. Para pengembang menginginkan iklim usaha yang kondusif.
Kegaduhan itu antara lain tuduhan pemerintah tentang pengembang nakal. Usulan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait terkait tanah hasil sitaan narapidana korupsi bisa digunakan untuk program pembangunan 3 juta rumah. Dan permintaan menurunkan harga rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
”Ini kondisi yang agak aneh di dunia usaha. Dunia usaha inginnya clear and clean, kondusif dan berjalan baik,” ujar Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Joko Susanto dalam konferensi pers bertajuk ”Quo Vadis Industri Perumahan : Program 3 Juta Rumah Tanpa Arah?” di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Sejumlah pimpinan asosiasi mengikuti kegiatan itu. Selain Ketua REI Joko Suranto, ada Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah, Ketua Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Appernas Jaya) Andriliwan Muhammad, Ketua Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Ari Tri Priyono, serta Ketua Asosiasi Pengembangan dan Pemasaran Rumah Nasional (Asprumnas) M. Syawali.
“Setelah tiga bulan men-lsupport euforia Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, pada akhirnya kita dapat kondisi yang menurut kita membingungkan, sangat kontraproduktif,” kata Joko Suranto.
“Kita dapat isu terkait rumah gratis yang sempat menimbulkan kontra masyarakat, tanah koruptor jadi rumah rakyat, dan isu menurunkan harga yang sangat menggoncangkan, FLPP 800 ribu, developer di-stigmakan nakal dan lainnya, itu jadi drama terus. Padahal pengembang sudah beri lapangan pekerjaan, bayar pajak, tapi dituduh seperti itu,” katanya.
Tragisnya lagi, yang membuat gusar pengembang ialah ajakan organisasi advokat untuk mengadvokasi pengembang. Ini sangat aneh untuk dunia usaha karena pelaku usaha ingin clean and clear kondusif berjalan dengan baik. Pengembang tidak mendapat perlindungan dan bimbingan pemerintah tapi justru mendapat stigma negatif. Bahkan merasa ketakutan akan masa depan bisnis mereka.
“Selain itu, ada kewajiban ke bank masa depan keluarga dipertaruhkan, pengembang nggak dapat kenyamanan kepastian usaha itu yang kita rasakan,” sebut Joko.
Junaidi Abdillah menambahkan, Apersi sudah menyambut program 3 juta rumah seperti yang diinginkan Presiden Prabowo. Namun belakangan yang terjadi justru program itu semakin sulit tercapai.
“Program 3 juta rumah yang ada ini nggak akan tercapai kalau kondisi Kementerian PKP oleh Pak Ara cara memimpin, gaya kepemimpinannya memancing kegaduhan di publik,” kata Abdulillah.
Padahal yang disampaikan Maruarar belum bisa dijalankan, tapi wacananya tinggi. Contoh terkait rumah gratis itu catatan pertama, itu sangat merugikan pengembang karena banyak orang ngga jadi beli orang membatalkan dan membuat masyarakat kebingungan dan yang dirugikan developer,” katanya.
“Terkait isu yang diwacanakan bangun di tanah koruptor itu mimpi terlalu jauh karena tanah koruptor nggak gampang, tanah negara aja belum berjalan apalagi tanah koruptor. Tanah koruptor harus clear and clear karena ada potensi gugat menggugat,” tandasnya.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |