RA Kartini : “Saya adalah Anak Buddha”

21 April 2023, 17:41 WIB

LOKAWARTA.COM-“Ik ben een Boeddha-kindje, weet u, en dat is al een reden om geen dierlijk voedsel te gebruiken….”
Saya adalah anak Buddha. Anda tahu, itu cukup untuk menjadi alasan, saya tidak memakan makanan hewani…”
(RA Kartini, Door Duisternis tot Licht hal.277 )

MEDIA online Tempo.co edisi 17 April 2017 mengungkap beberapa surat Kartini yang didalamnya berisi tentang pengenalannya terhadap agama Buddha.

Di antara 115 surat-surat Kartini ternyata ada beberapa surat yang  kontroversial. Salah satunya adalah suratnya soal agama Buddha. Surat itu terkena sensor dan tak diterbitkan dalam buku “Door Duisternis Tot Licht” pada 1911.

Pengakuan Kartini yang menyebut dirinya anak Buddha bermula saat Kartini kecil sakit keras. Badannya menggigil. Dokter yang didatangkan ayahnya, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, tak sanggup mengobati anak tujuh tahun itu.

Lalu datanglah seorang lelaki dari suku Tionghoa bertamu ke rumahnya. Laki-laki itu sudah dikenal oleh tiga anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta Kartini meminum air yang dicampur abu hio dari sebuah kelenteng di Welahan, Jepara, Jawa Tengah. Ajaib, demam Raden Ajeng turun dan ia sembuh.

Cerita itu kemudian ia tulis dalam surat untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandriistri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda.

Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, Kartini berapi-api menceritakan pengalaman itu. “Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu,” katanya.

Cerita itu ada dalam surat Kartini kepada Abendanon. Oleh Abendanon, surat-surat itu kemudian dikumpulkan. Surat itu diterbitkan dalam judul “Door Duisternis Tot Licht” pada 1911, tujuh tahun setelah Kartini meninggal. Penerbit Balai Pustaka, pada 1922, menerjemahkannya menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang

Kartini bahkan tak segan menyebut diri “anak Buddha” karena sudah meminum air hio saat sakit.

IMG 20230421 WA0065

“Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Buddha, dan itu sudah menjadi alasan mengapa saya tak makan daging,” tulisnya kepada Abendanon. Seperti nada dalam seluruh surat, kalimat Kartini terasa tulus, tanpa pretensi dan motif ketika bercerita tentang apa saja.

Setahun sebelum menulis surat itu, ia mengunjungi Welahan, kampung tempat tabib yang mengobati Kartini.

“Bagaimanapun, saya mesti belajar kenal dengan bapak saya yang besar itu,” ujarnya tentang Santik-kong, arwah leluhur orang Welahan yang disucikan di kelenteng itu. Di sana Kartini menyaksikan upacara memperingati ulang tahun Santik-kong (Hian Thian Siang Tee).

Santik-kong terkenal sebagai dewa penyembuh. Setiap ada wabah yang berjangkit, patungnya diarak berkeliling desa agar asap dupanya menyebar menangkal virus. Dan desa itu biasanya terhindar dari kuman. Kartini mencoba memberikan pemahaman yang logis kepada Abendanon, yang tak percaya kepada takhayul.

Setelah kita membaca kisah Kartini tersebut kita dapat memahami bahwa yang dimaksud pernyataan kartini “saya anak Buddha” ternyata sebatas pengenalannya terhadap salah satu tradisi umat Buddha.

Tradisi ini lebih spesifiknya dari tradisi Tionghoa atau Konghucu. Umat Buddha, khususnya dari suku Tionghoa yang beragama Buddha, masih banyak yang melestarikan tradisi Tionghoa atau kepercayaan Konghucu.

Kita dapat melihat makna yang tersirat dari kisah ini. Kita dapat melihat antara kehidupan pribadi seorang Kartini yang jarang terungkap ke publik dan menyandingkannya dengan prinsip hidup dan perjuangannya mengangkat derajat perempuan di Indonesia yang selama ini kita kenal. Kedua kisah hidupnya ini mengantarkannya sebagai seorang pahlawan.

Kepahlawanan Kartini hendaknya bisa kita lihat dari sudut pandang perjalanan spiritual yang ia jalani. Perjalanan yang mengantarkan Kartini menjadi pribadi yang bijaksana memandang, menilai dan menjalani kehidupan dalam segi sosial, budaya ataupun agama.

Kita tidak tahu pasti seberapa dalam Kartini mengenal agama Buddha. Walaupun dalam suratnya, Kartini menyatakan melakukan praktek vegetarian dalam hidupnya.Namun itu belum cukup untuk menyatakan Kartini beragama Buddha.

Kita perlu meneliti lebih jauh seberapa besar pengaruh ajaran Buddha dalam usahanya mengangkat derajat perempuan masa itu, mengingat dalam ajaran Buddha diajarkan juga kesetaraan gender, ras, suku dan agama.(Sayudi Peace)

Editor:Vladimir Langgeng
Sumber:belajarbuddhis

Artikel Terkait