BAGI orang Jawa, ungkapan sak dumuk bathuk sak nyari bumi tidak asing lagi apabila dikaitkan dengan riuhnya jagad Indonesia. Setelah ditemukannya pagar laut bambu sepanjang 30 km lebih di perairan Provinsi Banten, semua geger, semua panik, saling tuduh, karena tidak seorangpun mengetahui siapa pelaku sebenarnya. Terlebih lagi dengan adanya PSN, PIK satu dan dua keadaan semakin carut marut.
Peristiwa menghebohkan itu mewarnai awal pemerintahan Presiden Prabowo yang kemudian mengambil langkah tegas dengan perintah pembongkaran oleh pasukan Angkatan Laut dalam jangka waktu 10 hari .
Secara sederhana, ungkapan dimaksudkan sebagai hak atau kepemilikan sebidang tanah yang merupakan kekayaan yang wajib dipertahankan. Dalam hal ini laut diartikan sebagai wujud Kedaulatan wilayah negara, yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Bila mana perlu dibela sampai titik darah penghabisan.
Banyak simbolisasi keperkasaan laut dalam berbagai versi, diantaranya dunia pewayangan dengan tokoh Dewa Ruci, mithos Yunani digambarkan sebagai Dewa Neptunus, Nyai Lara Kidhul, dimaknai sebagai penguasa Laut Selatan nan cantik rupawan sehingga mampu meruntuhkan hati para raja Jawa.
Demikian pula jargon milik the British Empire, “The King rules the waves”, The Vikings juga terkenal sebagai raja lautan yang maha dahsyat.
Bagaimana dengan kedaulatan di daratan?
Tentu kita semua masih ingat sejarah Pangeran Diponegoro, yang mencabuti “pathok kayu” oleh imperialis Belanda di tanah miliknya di Tegalrejo? Dari peristiwa itulah awal mula perlawanan BRM Hanantowirya/ Antawirya (nama muda Diponegoro) terhadap imperialisme Belanda di tahun 1825 sampai 1830.
Semoga dengan contoh-contoh konkrit itu, awam menjadi lebih gamblang dan mampu mencerna lebih baik.
Sementara itu dari sisi hukum nternasional, kasus “pagar makan lautan” jelas tidak bisa dibenarkan. Berdasarkan Konvensi PBB tentang hukum laut atau UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), maka tidak ada dokumen kepemilikan yang bernama SHM dan HGB.
Bagi masyarakat yang waras, apa yang terjadi sekarang adalah “pemerkosaan” atas laut sebagai simbol kedaulatan suatu negara.
Singkatnya termasuk dalam kategori tindak pdana, yang wajib dimejahijaukan.
Selanjutnya, argumentasi akademis yang disampaikan pakar geospasial hukum laut dari UGM I Made Andi Arsana, citra satelit membuktikan bahwa lokasi pagar laut di pantai utara Tangerang dulunya memang bukan daratan (ceramah di sekolah wartawan pada Kamis 30 Januari 2025 di kampus UGM ). Data ini kemudian lebih diperkuat oleh adanya penelitian di tahun 1976, dilanjutkan pada tahun 1982 juga terlihat bahwa pagar laut masih jauh dari daratan.
Dengan demikian dapat disimpulkan adanya pemberian sertifikat di situ jelas tidak memenuhi syarat hukum. Apa yang terjadi di perairan Banten tersebut menimbulkan polemik panas di ranah publik, pro kontra tidak dapat dibendung baik di kubu para pemodal maupun masyarakat nelayan dan pencinta lingkungan semacam WALHI.
Sosok cerdas dari kalangan nelayan yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren bernama Pak Kholid, penduduk asli Desa Pontang, Serang. Tiba-tiba dia muncul di sosmed bahkan viral di semua penjuru tanah air. Penjelasan dan statement dalam bahasa sederhana namun mengena mengalahkan pakar politik serta akademisi lulusan luar negeri. Bernas, menukik bahkan tajam analisa empirisnya.
Dengan rinci Pak Kholid membeberkan kekhawatirannya akan bahaya yang menghadang kehidupan para nelayan dan habitatnya 200 tahun ke depan. Prediksinya membuat kita terhenyak, negara akan di caplok orang asing berkantong tebal berkolaborasi dengan oligarkhi yang jelas berada di depan mata. Di samping itu para penegak hukum dan birokrasi sudah dapat dibeli demi kemewahan duniawi belaka.
Sosok lain yang pemberani adalah Pak Mukri Priatna dari Walhi yang juga menunjukkan kegigihannya, tidak peduli akan gelombang teror yang dialaminya selama berbulan-bulan.
Kejahatan para taipan sulit dibuktikan, licin bak belut tercebur olie. Justru yang menjadi korban adalah perangkat pemerintah kelas teri yang dibodohi pimpinannya. Ironis bukan?
Sampai detik ini para petinggi yang dulu menjabat di instansi terkait sibuk berdebat dan berkilah sambil menghindar dari kesalahan fatal yang sangat merugikan negara. Adapun yang berhasil ditersangkakan oleh Bareskrim Polri bersama beberapa temannya yaitu Lurah Kohod bernama Arsin yang sempat menikmati kendaraan mewah sekelas Rubicon. Mungkin si bad guy Arsin memang sengaja dikorbankan untuk menutupi kejahatan para sembilan naga.
Sampai kapan masyarakat harus bersabar menonton drama Korea, “Pagar akan Lautan” yang mencekam dan menguras energi publik habis habisan. Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat selain berteriak : “Jangan buat rakyat kecewa dan curiga , sehingga berakhir dengan kemarahan yang membuncah. Come on man, work hard with your heart”.
Semarang 20 Februari 2025
Oeoel Djoko Santoso, pengamat sosial.
Editor | : | Pilih Nama Editor |
---|---|---|
Sumber | : |