SOLO,LOKAWARTA.COM-Kota Solo masih dihadapkan pada bencana yang terus mengintai akibat tingginya timbunan sampah. Setidaknya dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Putri Cempo Solo mengalami 3 kali kebakaran hebat yang mengakibatkan pencemaran lingkungan masyarakat.
Ketika api berkobar, dampak yang ditimbulkan sangat serius. Asap tebal yang mengepul dari lokasi kebakaran mengandung zat-zat berbahaya, seperti karbon monoksida, partikulat, dan senyawa organik beracun yang membuat sesak orang dewasa hingga anak-anak di sekitar TPA.
Lindi atau air rembesan dari tumpukan sampah yang terbakar dapat mengandung logam berat dan senyawa kimia berbahaya yang dapat mencemari lingkungan sekitar. Dampak jangka panjang dari pencemaran ini dapat mengancam kesehatan masyarakat dan ekosistem.
Kondisi TPA Putri Cempo yang telah melebihi kapasitas dan tidak memadai dalam pengelolaan sampah menjadi faktor pendorong terjadinya kebakaran. Tumpukan sampah yang membumbung tinggi bagai gunung menjadi bahan bakar yang siap memicu nyala api kapan saja.
Masalahnya kondisi tersebut sudah kerap terjadi setiap tahun, dan produksi sampah justru semakin meningkat tiap tahunnya. Tahun ini saja produksi sampah Kota Solo mencapai 419 ton perhari dan kondisi ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya pada angka 300 ton perhari.
Merujuk data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hiduup 2023, komposisi sampah plastik di Solo cukup besar, dari total 152.974 ton timbunan sampah 38,18 adalah sampah organik dan 22,73 persen-nya berjenis plastik.
Rumah tangga dan pasar adalah dua sumber utama yang menyumbang produksi sampah di Kota Surakarta. Pasar sebagai pusat ekonomi bagi masyarakat di Solo memproduksi sekitar 30 ton atau 7,28 persen setiap harinya, sebagian besar berupa sampah organik yang berasal dari sisa sayuran serta buah-buahan dan sampah plastik.
Salah satu sumber timbunan sampah adalah pasar tradisional. Tahun 2024 Gita Pertiwi telah melakukan riset terkait penggunaan sampah plastik sekali pakai pada 5 pasar tradisional di Kota Surakarta diantaranya Pasar Jebres, Pasar Nongko, Pasar Purwosari, Pasar Singosaren dan Pasar Gading.
Lembaga yang bergerak pada pelestarian lingkungan dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender ini membuka fakta bahwa rata-rata penggunaan kantong plastik sekali pakai di sejumlah pasar di Solo mencapai 22.260 buah per-harinya.
Melihat tantangan ini, Gita Pertiwi, meluncurkan program pengelolaan sampah yang inovatif di Pasar Jebres. Pasar Jebres dipilih sebagai pilot projek program pasar minim sampah karena memiliki potensi timbunan sampah yang cukup tinggi. Setiap hari Pasar Jebres dapat memproduksi 12 bin tempat sampah atau setara dengan 600 kg sampah.
Penggunaan kantong plastik sekali pakai di Pasar Jebres juga paling tinggi di antara pasar lain yaitu mencapai 83 buah. Melalui kerja sama dengan Dinas Perdagangan Kota Surakarta, NGO tersebut memulai program inovatif.
Pendampingan penggunaan plastik dilakukan, dan sistem distribusi pangan berlebih diorganisir dengan melibatkan para pedagang dan petugas pasar.
Itsna, Staf Program Kota Berkelanjutan menjelaskan setiap hari, tim Gita Pertiwi bersama pedagang dan petugas pasar mengumpulkan makanan berlebih seperti sayuran, buah dan bumbu yang masih layak konsumsi. Makanan ini kemudian didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan. Edukasi penggunaan plastik juga terus dilakukan untuk menciptakan pasar yang ramah lingkungan.
“Kami menginisiasi program pasar minim sampah di Pasar Jebres karena memiliki potensi sampah yang besar untuk di Kelola. Program yang kami inisiasi dilakukan dengan mengelola sisa pangan berlebih dan mendorong pedagang kuliner untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai,” ujar Itsna di sela peluncuran pasar minim sampah di Pasar Jebres Solo, Senin (3/13/2024).
Kepala Bidang Sarana dan Distribusi Dinas Perdagangan Kota Surakarta Joko Sartono mengakui, pasar minim sampah yang diinisiasiGita Pertiwi adalah project pertama yang ada di Surakarta. Joko juga menjelaskan Perda Nomor 2 tahun 2024 memperkuat adanya pembatasan sampah yang diproduksi oleh pasar sehingga mendukung program pasar minim sampah yang diinisiasi oleh Gita Pertiwi.
“Pasar Jebres sudah menjadi pasar SNI, ini menjadi potensi sebagai sendiri untuk inisiasi pasar minim sampah. Terlebih lagi Pasar Jebres sebagai pintu masuk Kota Solo dari sisi Stasiun Jebres, agar orang tertarik dan betah dari segi kebersihan harus dijaga.”
Program tetsebut bukan hanya tentang mengelola sampah, tapi juga membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat. Para pedagang pasar, pemulung, petugas pasar dan warga sekitar menjadi bagian integral dari solusi yang digaungkan.
Kini, Pasar Jebres tidak hanya dikenal sebagai pasar tradisional ikonik, tapi juga sebagai pionir pasar ramah lingkungan di Kota Solo. Sebuah bukti bahwa warisan budaya bisa berjalan seiring dengan inovasi berkelanjutan. Yang dulunya terbuang, kini menjadi berkah bagi sesama. Yang tadinya menjadi beban lingkungan, kini menjadi sumber kehidupan.
Hasil dari program ini sangat menggembirakan. Jumlah sampah organik yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo berkurang secara signifikan. Joko menjelaskan dari pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini timbunan sampah di Pasar Jebres sudah berkurang yang dulunya 12 bin sampah menjadi 5 bin saja.
Cokro, ketua Paguyuban Pedagang Pasar Jebres mengatakan, saat ini pedagang sudah mulai sadar untuk memilah sampah dan mengumpulkan dagangan mereka yang layak konsumsi untuk diberikan kepada panti.
“Sejak Gita Pertiwi menginisiasi program ini, para pedagang banyak yang sudah sadar untuk tidak membuang dagangan mereka yang tidak terjual. Pedagang lebih memilih mengumpulkan sisa dagangan untuk didistribusikan, Dampaknya saat ini kebersihan pasar dapat menciptakan kenyamanan,” jelas Cokro.
Cokro berharap, perwujudan pasar minim sampah akan bisa terwujud di pasar-pasar lain mulai dari praktik baik yang sudah dilakukan di Pasar Jebres. Pasar Jebres juga bisa menjadi wajah Kota Solo yang di pandang baik dan menjadi destinasi wisata.
Ke depan sampah organik yang tidak layak konsumsi juga akan dikelola untuk menjadi kompos dengan menggandeng kelompok pengelola sampah di Kota Surakarta seperti TPS3R, Bank Sampah, dan Kelompok Wanita Tani.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |