JOKO Sutrisno adalah sosok yang humble, suka humor, pandai bergaul, bijak dan cerdas. Dimana pun dia berada selalu menjadi “magnet” orang orang di sekitar untuk mendekat. Latar belakang seorang pendidik, menjadikannya tidak pelit untuk berbagi ilmu.
Namun siapa sangka, perjalanan hidup seorang Joko Sutrisno sebelum menjadi pengusaha hotel, resto, berbagai destinasi wisata, serta berbagai lembaga kursus itu penuh perjuangan.
“Sewaktu kecil, saat saya masih SD dan SMP di tahun 1970-an, saya jualan es lilin keliling desa dari kampung ke kampung,” kata Joko Sutrisno, Sabtu (16/9/2023), mengenang masa kecilnya.
Kerja itu terus berlangsung kala laki-laki kelahiran Karanganyar 12 Maret 1960 itu melanjutkan sekolah di SMA. Namun dia tidak lagi berjualan es lilin keliling, melainkan bercocok tanam di lahan / pekarangan di sekitar tempat tinggal di Klodran Colomadu Karanganyar.
Nah, dari hasil bercocok tanam yang dijual itulah digunakan Joko Sutrisno untuk masuk kuliah yang saat itu diterima di Jurusan Bahasa Inggris FKIP UNS Surakarta.
Lantaran jiwa wirausahanya sudah tertanam sejak kucil, Joko Sutrisno tidak bisa berhenti berbisnis. Di sela kesibukan kuliah dan berorganisasi di kampus, dia memberi les privat Bahasa Inggris bagi anak anak dari rumah ke rumah.
Pekerjaan itu dilakoni hingga lulus kuliah. Bahkan memberi les Bahasa Inggris atau membuka kursus Bahasa Inggris itu bisa dibilang langkah awal Joko Sutrisno meniti bisnis secara profesional hingga “menggurita” seperti sekarang ini.
Ceritaanya begini. Sewaktu menjadi PNS sebagai guru SMP Negeri di Delanggu Klaten, Joko Sutrisno tetap melayani les Bahasa Inggris dan kemudian membuka kursus Bahasa Inggris. Maklum saja, gaji pegawai negeri saat itu “cupet”, apalagi guru.
Dari satu lembaga kursus yang dia buka di Klaten tahun 1983, kemudian berkembang menjadi 36 lembaga kursus yang tersebar di 19 provinsi, termasuk di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Tidak hanya kursus Bahasa Inggris, tapi juga kursus-kursus yang lain, seperti kursus perhotelan dan kursus akutansi. Berangkat dari lembaga kursus itu, Ketua FPLKP Jawa Tengah itu kemudian mendirikan lembaga pendidikan formal, yakni Politeknik Harapan Bangsa di Solo.
“Dari pengalaman mengelola lembaga kursus perhotelan inilah saya memberanikan diri membuka hotel, yakni Hotel Red Chilies di Solo,” kata bapak tiga anak tersebut.
Sementara itu, lembaga kursus yang dibuka diberbagai daerah, juga membuka jalan bagi Joko Sutrisno untuk membuka bisnis yang lain, yakni bisnis kuliner dan destinasi wisata. Tidak hanya di Jawa tapi juga di luar Jawa. Dari bisnis yang dia geluti dan tekuni, kini suami dari Sulastri itu dikenal sebagai pelaku bisnis pariwisata, yakni rekreasi dan perhotelan.
Berbagai destinasi wisata yang dia bangun dan tekuni, kini menjadi masyur dan viral serta tujuan wisata favorit para pelancong, terutama kalangan milenial. Sebut saja Bukit Sekipan Tawangmangu, Waduk Cengklik Park Boyolali, Borobudur Land Magelang dan Osanna Beach Pacitan, Jawa Timur
“Pada umumnya yang datang ke tempat wisata kami adalah keluarga dan anak-anak milenial, terutama yang suka poto selfie dan bikin konten di media sosial,” kata Joko Sutrisno yang tingal di Klodran Colomadu dan Jebres Solo.
Di samping kesibukannya berbisnis, Joko Sutrisno juga aktif di sejumlah organisasi, dari tingkat lokal hingga nasional. Sebut saja Hipmi, Kadin, IMA, PHRI, FPLKP, ICSB (ACSB), Gradasi, dan lainnya. Bagi Joko Sutrisno, aktif berorganisasi itu “gawan bayi”, sejak kecil dan mendarah daging.
Sewaktu SMP dan SMA aktif di OSIS, waktu kuliah aktih himpunan mahasiswa jurusan, aktif di Hipmi ketika muda. Dari keaktifan di sejumlah organisasi itulah Joko Sutrsno sering berbagi ilmu pada banyak orang, selain menimba ilmu, terutama kiat sukses berbisnis. Latar belakangnya sebagai pendidik sangat mendukung.
Joko Sutrisno, Ketua ICSB/ACSB Jawa Tengah itu sering dijadikan narasumber di sejumlah seminar, lokakarya, workshop, pelatihan, dan lainnya di berbagai tempat, dari level lokal hingga nasional.
Menurut Joko Sutrisno, kunci sukses dalam mengelola organisasi dan bisnis, pertama adalah managemen partispasif, yang mana semua yang terlibat dlm organisasi berhak dan wajib memberikan ide dan pendapat, bahkan dalam usahanya bila ide itu dipakai diseluruh jajaranya usahanya akan mendapatkan bonus tersendiri.
Kedua, menerapkan pengelolaan keuangan dengan rumus 50,25.10,5,5,5, seperti yang diajarkan Antoni Robin. Yakni, 50% cukup tidak cukup untuk kebutuhan sehari hari, 25% ditabung, 10 % untuk cadangan, 5% kesenangan 5% sedekah 5% untuk belajar.
“Ketiga, aktiflah berorganisasi. Dengan aktif berbagai organisasi maka akan membuka jaringan bisnis, karena kesuksesanya dalam menglola organisasi,” pungkas Joko Sutrisno yang tercatat sebagai Ketua Gradasi Jawa Tengah itu.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |