PUBLIK kembali di hebohkan dengan munculnya polemik antara sipil dan militer di birokrasi Pemerintahan. Sebagai orang sipil, saya berpendapat sebaiknya posisi masing-masing berada di tempat yang setara sebagaimana sudah berlangsung selama 27 tahun sejak Reformasi. Tidak ada mana yang lebih superior, sementara yang lain lebih rendah. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Salah satu tujuan Reformasi adalah memisahkan TNI/POLRI (dulu ABRI ) dari struktur pemerintahan birokrasi sipil. Utamanya kembali ke khitah masing masing, dimana TNI adalah penjaga keamanan / kedaulatan negara, sedangkan POLRI melindungi masyarakat agar aman didalam menjalankan kehidupan sosialnya. Kedua unsur tersebut harus lepas dari politik praktis dan berdiri netral sebagai garda bangsa Indonesia.
Ada 3 hal amanah reformasi yang harus dipertahankan, yakni kebebasan Pers, kembalinya TNI/POLRI ke barak (back to barack) serta Otonomi Daerah yang merupakan upaya kemandirian. Bisa diibaratkan bahwa Pemerintah Pusat adalah seorang ibu yang melepaskan ASI-nya (Bahasa Jawa disapih) agar bayi tumbuh sebagai anak yang mandiri.
Dalam Konperensi Pamong Praja tahun 1946 di Solo, salah satu founding father kita Bung Hatta menyatakan sebagai berikut :
“Pada intinya rakyat di daerah memiliki kekuatan untuk memutuskan segala hal tentang lingkungan daerahnya sendiri, berhak mengatur tumah tangganya berdasarkan mufakat yang diputuskan sendiri.
Namun demikian kedaulatan yang dilaksanakan itu bukanlah kedaulatan yang keluar dari pokoknya sendiri melainkan kedaulatan yang diperoleh dari kedaulatan yang lebih atas.”
Cepat atau lambat otonomi daerah (otda) harus segera terwujud sebaik baiknya, sebab pemerintah mengharapkan kebijakan tersebut dapat memacu partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu juga mampu mendorong pemerataan pembangunan di seluruh Tanah Air dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara dan memperkokoh Ketahanan Nasional.
Dalam hal kepemimpinan sipil, Provinsi Jateng memiliki sejarah panjang sejak kemerdekaan RI. Berdasarkan catatan yang saya miliki, hampir semua gubernur yang memimpin Jateng adalah tokoh tokoh sipil nasionalis diantaranya Gubernur Boediono, Mangoenegoro, Mochtar, Ganjar Pranowo dan tokoh NU yang akademisi Ali Mufiz.
Selanjutnya selama orba Jateng dipimpin oleh tokoh tokoh militer yaitu Kolonel Munadi, Mayjen Soepardjo Rustam, Ismail, Suwardi, lalu di era Reformasi gubernur dijabat oleh Mardiyanto dan Bibit Waluyo, keduanya kebetulan diusung oleh PDIP. Sebagaimana disebut di depan Ganjar Pranowo adalah gubernur sipil era reformasi yang didukung oleh PDIP.

Tokoh tokoh militer yang memimpin Jateng tersebut, memiliki performa yang cukup baik dan mampu beradaptasi dengan para birokrat. Pola kepemimpinan yang diterapkan sama sekali tidak militeristik. Justru kepemimpinan alm pak Pardjo lebih sipil dari sipil..Mungkin karena beliau sebelum bertugas sebagai gubernur lama berada dilingkungan Deplu sebagai Direktur Asia Pasifik yang pergaulannya luas dan luwes
Perlu digaris bawahi bahwa semua pejabat militer yang memangku jabatan gubernur sudah berstatus pensiun. Sehingga tidak menimbulkan dikotomi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Yang melekat dihati saya adalah kebijakan alm Suwardi yang berlebihan, yaitu kuningisasi. Mulai dari pagar rumah, baju , sampai zebra cross di cat kuning. Akhirnya pada saat reformasi beliau didemo dan dihujat mahasiswa. Jadi supaya diingat kalau melawan rakyat akibatnya fatal. Peristiwa itu sangat erat kaitannya dengan kondisi saat ini yaitu penolakan terhadap Revisi UU TNI, yang dikhawatirkan kembalinya orba jilid dua.
Akan sangat berbahaya, jika mereka yang dipersenjatai dan terbiasa dengan rantai komando itu menduduki jabatan jabatan sipil. Belajarlah dari Sejarah, artinya Jasmerah adalah hal yang mutlak.
Penutup
Apabila di dalam menjalankan tugas sebagai public servant belum optimal dan sempurna, itu merupakan kewajaran. Selanjutnya masih ada proses perbaikan menuju kinerja paripurna di kemudian hari, sesuai tuntutan zaman. Secara individu kita dituntut untuk makin meningkatkan pengetahuan di semua sektor agar selalu updated.
Berdasarkan pengalaman para PNS/ASN selama ini di dalam pengabdiannya pada negara, saya merasa tersinggung kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa kemampuan sipil kalah oleh seseorang yang berlatar belakang militer. Sehingga perlu digembleng lagi melalui metode berbau militeristis, itu sungguh menyakitan, karena masyarakat sipil dan militer tentu berbeda ruang lingkup dan pola pikirnya
Semoga apa yang saya sampaikan bisa menumbuhkan semangat dan percaya diri masyarakat sipil.
SALAM PANCASILA
(Ny Oeoel Djoko Santoso, pensiunan PNS).
Editor | : | Pilih Nama Editor |
---|---|---|
Sumber | : |