ISTILAH angker, saat ini, mungkin sudah jarang ditemui. Tempat yang dulu angker, sekarang malah banyak jadi tempat wisata. Orang dulu, para kakek nenek kita sering sampaikan, itu tempat angker, banyak penunggu. Semakin tempat itu dikatakan angker maka semakin jarang orang yang berani mendekati, ataupun beraktivitas di sekitarnya. Beberapa tempat yang disebut angker, bahkan sangat sering ada penjaga khusus atau sering disebut Juru Kunci.
Konon, Juru Kunci inilah sebagai penghubung seseorang dari mana saja dengan penunggu tempat angker tersebut. Tempat angker sangat banyak bentunya. Dari mata air, kuburan, pohon besar, sumur tertentu, peninggalan leluhur, perbatasan wilayah, dan masih banyak lagi.
Sebut saja, dahulu banyak peninggalan bangunan Belanda dan Jepang, yang disebut sebagai tempat angker. Beberapa juga umbul atau mata air, yang biasanya mengalir terus menerus, sering disebut angker. Pohon besar, terkadang juga dipagari dan dirawat, makam tokoh tertentu, juga tempat atau petilasan para leluhur masa lalu yang dikeramtkan.
Berita daerah, tempat, pohon atau apapun yang disebut angker, akan dikaitkan dengan makluq ghaib penunggu. Entah disebut dengan buto, gendruwo dan berbagai nama jin lainnya. Tempat-tempat itu Sebagian juga dilakukan sesaji, sehingga makin terjaga angkernya.
Dalam kacamata keramahan lingkungan dan bijak dalam pemberdayaan semesta, para pendahulu kita sangat arif bijaksana. Mereka menjaga lingkungan, sarana yang memiliki nilai potensial baik untuk masyarakat umum ataupun tertentu dengan menyebut “angker”. Bahkan pendahulu, secara sengaja menanam simbol atau pengikat jin pada tenpat tertentu, agar terjaga.
Semakin angker, maka orang akan semakin berhati-hati dan “menghormati” tempat tersebut. Tidak menebang pohon secara sembarangan, tidak pergunakan air secara membabi buta, tidak terjadi eksploitasi ngawur, semua harus pakai adat khusus. Yang terjadi Ketika sematan “angker” masih melekat, pepohonan terjaga bahkan berumur ratusan tahun, sumber air terjaga, benda atau bangunan masa lampau / sejarah terjaga, dan ini memiliki nilai yang sangat tinggi.
Kesadaran pendahulu kita dengan bubuhkan sebutan angker, bukan semata-mata untuk urusan ghaib dan kemusyrikan namun lebih pada penjagaan semesta sehingga alam dijaga, digunakan dengan arif dan bijaksana. Penuh dengan adat dan tatacara khusus sehingga tidak terjadi ekploitasi di luar batas kewajaran. Ini konsep penjagaan semesta, keramahan terhadap alam, sehingga alam memberikan banyak kemanfaatan kepada manusia dan lainnya.
Ketika sumber air terjaga, maka warga sekitar tentu akan terus dapat mengambil manfaat. Pepohonan besar terjaga, maka sumber air dan simpanan air semakin baik dalam bumi kita. Bangunan atau situs masa lalu terjaga, maka nilai sejarah menjadi sangat tinggi pada kemudian hari. Yang terpenting, penjagaan itu bukan pada sisi keluar dari aturah hukum, ekologis, baik sisi agama atau aturan lainnya.
Kiat saat ini bisa melihat langsung, banyak tempat yang terjaga dengan baik, karena masih dengan cara bijak lama dalam penjagaanya. Eksploitasi masa kini, yang kadang tidak bijaksana dan ramah lagi terhadap semesta, membuat semesta tak ramah lagi terhadap kita. Kekeringan, longsor, banjir, dan lainnya merupakan salah satu dampak dari ketidakramahan manusia kepada semesta. Bagimana angker menurut kacamata Anda ?
Yant Subiyanto, Ketua DPD Perkumpulan Penggiat Pariwisata Mice Travel Restoran Indonesia (P4MTRI) Jawa Tengah.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |