Toleransi…

11 Juli 2025, 10:00 WIB

AKHIR-akhir ini banyak diperbincangkan masalah toleransi. Sejak kita dilahirkan sebagai bangsa Indonesia, sikap toleran sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Sebagai orang yang dilahirkan sebagai suku Jawa, toleransi dimaknai sebagai “momong rasa” atau tenggang rasa dalam banyak hal.

Di dalam keluarga pun kita sudah belajar bertenggang rasa terhadap saudara dan para asisten rumah tangga yang bekerja di rumah.
Dulu sewaktu masih kecil, oleh ibu selalu diajarkan untuk menghormati yang ” momong”, berlakulah sopan meski dari status sosial beda.

Kemudian zaman sudah berubah, istilah “ndara putri, ndara kakung , ndara sepuh” hilang dari kamus pergaulan sosial, menjadi mbak,.mas, atau mbah untuk panggilan para ART. Dulu mereka hanya boleh pulang kampung hanya setahun sekali yaitu pada saat lebaran. Untuk saat ini, tanggal merah merupakan hari libur kerja seperti pegawai kantoran.

Belajar bertenggang rasa juga butuh proses, bisa juga diartikan sebagai bagian pendewasaan seseorang tidak boleh merasa menang dan benar sendiri. Bagi anak-anak yang biasa tinggal di kompleks perumahan, jiwa toleran nya tumbuh secara alami karena mau tidak mau harus belajar beradaptasi, berinteraksi dengan lingkungan dimana mereka hidup. Demikian juga bagi anak-anak yang bersekolah di institusi pendidikan yang berbeda dengan agama yang dianutnya.

Di awal kemerdekaan dimana sekolah negeri belum se ” moncer” sekarang para orang tua merasa lebih percaya pada sistim pendidikan yang dilakukan oleh Sekolah Katholik dan Kristen. Hal tersebut tentu saja tidak dapat disalahkan, bahkan bisa menjadi pemicu sekolah-sekolah negeri bertumbuh lebih berkualitas.Sehingga menjadi pilihan utama dari banyak orang tua.

Hendaknya toleransi dipandang dari perspektif yang lebih luas, tidak hanya dari sisi agama saja. Pergaulan antar sukupun harus mengandung sikap toleran tanpa diskriminasi sama sekali.

Bagian dari tubuh kita yang paling toleran adalah LIDAH, hampir semua jenis kuliner tidak pernah di tolak oleh lidah orang Indonesia. Kecuali ada jenis makanan tertentu yg memang dilarang oleh agama yang dianutnya. Contoh konkritnya,warung Padang, nasi gudeg, soto Kudus,.bakmi Jawa, bubur Menado, Coto Makasar berjejer berdampingan dengan damai, nyaman jauh dari konflik.

Jujur saja saya merasa capai mendengar masih saja ada gesekan gesekan antar masyarakat tentang pendirian rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia. So what gitu loh!

Jadi benar adanya bahwa Pancasila masih jauh dari keinginan banyak kalangan yaitu membumi dan menjadi Way of Life yang sebenarnya.

Salam Pancasila

Semarang, 10 Juli 2025
Oeoel D Santoso

Editor:Vladimir Langgeng
Sumber:

Artikel Terkait