SOLO,LOKAWARTA.COM-Tujuh Dewan Pimpinan Kabupaten/Kota Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Se Solo Raya, menyatakan KEBERATAN terkait keputusan angka 6,5 % yang dimunculkan dalam Peraturan Menteri Nomor 16 tahun 2024 dan dijadikan rujukan atau standart kenaikan Upah Minimum Nasional, Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Penolakan itu diputuskan dalam kesepakatan bersama yang ditandatangani tujuh ketua DPK APINDO Se Solo Raya, yakni Solo, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, Boyolali, dan Sragen.
Mereka beralasan, lahirnya angka 6,5% itu dinilai tidak memiliki landasan kepastian hukum secara normatif yang didasarkan atas pertumbuhan ekonomi inflasi nasional dan index tertentu. Selain itu, tidak ada transparansi atas perhitungan riil atas besaran angka 6,5% sebagai rumusan baku yang ditetapkan.
Angka kenaikan 6,5% itu juga diasumsikan dengan harapan akan meningkatkan daya beli masyarakat. “Namun kenyataannya berbanding terbalik. Dengan angka kenaikan 6,5% tidak dapat mengangkat daya beli masyarakat karena situasi dan kondisi dunia usaha semakin tertekan dan melemah,” kata Ketua DPK APINDO Sukoharjo Yunus Arianto sekaligus koordinator, Selasa (10/12/2024).
Dikakatakan, DPK APINDO Se Solo Raya juga menyatakan BELUM DAPAT MENERIMA dan memandang penting atas legitimasi keabsahan rancangan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dalam proses menjalankan keputusan hasil rapat sidang terbatas dengan Kementerian Ketenagakerjaan, dan selanjutnya dengan persetujuan Presiden, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Upah Minimum tahun 2025.
“Hal ini dikarenakan substansi dasar yaitu angka 6,5% yang dijadikan obyek keputusan menurut kami cacat hukum dan tidak memiliki landasan yuridis formal yang benar,” tandasnya.
Dikatakam, situasional dan kondisi perusahaan perusahaan pasca covid 19 tidak sepenuhnya bangkit, perang Rusia Ukraina yang terus memanas hingga memanasnya konstelasi geo politik global menyebabkan guncangan perekonomian nasional dan berimbas pada industri nasional. Akibat kesalahan kebijakan luar negeri terhadap produk- produk tertentu hingga menyebabkan banyak perusahaan krisis dan tutup hingga berakibat pada potensi Pemutusan Hubungan Kerja dalam jumlah yang sangat besar dan ketidakstabilan sosial.
“Dalam kondisi seperti ini kami menyatakan, untuk bertahan menghidupi perusahaan sangat sulit dan diperlukan kearifan semua pihak untuk bisa menyelamatkan dan memulihkan keadaan hingga masing-masing perusahaan dapat bangkit kembali dengan tidak mengedepankan ego sectoral, ego komunal, ego organisasi antar buruh dan pengusaha, serta dibutuhkan kearifan pemerintah melalui pemerintah daerah masing- masing dalam bersikap yang tidak semata-mata hanya berpijak pada keputusan yuridis formal yang ada,” tandasnya.
Sementara itu dalam rangka penyelamatan keberlangsunga usaha perusahaan, tujuh APINDO Se Solo Raya mengusulkan perhitungan angka kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota tahun 2025 secara terukur, normatif dan dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan pertimbangan angka inflasi pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah dan indeks tertentu sebagaimana dasar keputusan yang digunakan dalam acuan penentuan upah minimum, serta keberlanjutan dari dunia usaha dan dunia industri.
“Kami sepakat tidak mengusulkan dan tidak menetapkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota tahun 2025,” pungkasnya.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |