SEMARANG,LOKAWARTA.COM-Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang banyak menyimpan sejarah yang telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Kota ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke 6 Masehi dengan wilayah pesisir yang disebut Pragota (Bergota), yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pada masa itu, daerah ini merupakan pelabuhan dengan gugusan pulau-pulau kecil di sekitarnya yang sekarang sudah membentuk sebuah daratan.
Sejarah singkat
Sebagai salah satu kota tua di Indonesia, Semarang menyimpan banyak peristiwa sejarah dan juga berbagai peninggalan. Tak terkecuali sejarah peradaban agama Buddha di Sironjang, Kelurahan Pakintelan, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Agama Buddha mulai bangkit kembali setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Semangat bangkit ini ditandai dengan adanya pembangunan vihara di dekat sungai yang bernama Vihara 2500 Buddha. Vihara ini didukung dan dikelola oleh masyarakat sekitar sampai masa peristiwa G30S, vihara tersebut secara perlahan mulai ditinggalkan.
Setelah peristiwa tersebut, tahun 1978 masyarakat sekitar berinisiatif untuk membangun vihara di sekitar tempat tinggal mereka, yang sekarang disebut Vihara Buddha Dipa. Vihara ini dibangun di atas tanah wakaf dari almarhum Mbah Salewang.
Sebelum peristiwa GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh), hampir 90% masyarakat Sironjang beragama Buddha. Namun, sejak adanya peristiwa ini, banyak yang ketakutan tak terkecuali para pemuka agama Buddha. Secara perlahan, jumlah pemeluk agama Buddha mulai berkurang karena adanya perkawinan dan juga masuknya agama baru. Uniknya, pemeluk agama Buddha mayoritas tinggal di Sironjang, yang jumlahnya saat ini sekitar 10%.
Tak jauh dari vihara Buddha Dipa, terdapat sebuah petilasan vihara dan sima 2500 Buddha Jayanti yang terletak di bukit Kassapa, Pudak Payung. Jika ditempuh dengan jalan kaki, akan memakan waktu sekitar 30 menit, sambil menikmati pemandangan sungai, hutan, kebun, dan kadang ditemui satwa liar. Vihara Sima 2500 Buddha Jayanti mulai kosong kegiatan sejak November 1964, setelah ditinggalkan Ashin Jinarakkhita, sang pelopor kebangkitan Buddha di Indonesia. Vihara ini juga menjadi tempat penobatan biksu Internasional pertama di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1959.
Setelah 57 tahun, vihara ini ditinggalkan, akhirnya pada 7 Maret 2021, vihara ini menggelar peringatan Magha Puja. Dalam acara ini, dihadiri 15 orang Bhikku/Bhikkuni, dan Samanera/Samanere, serta lebih dari 350 upasaka/upasika dari berbagai daerah di Indonesia. Peringatan Magha Puja ini juga disakralkan dengan Wilujengan Buka Wana Kassap, berupa tiga tari puja diiringi gamelan karawitan. Tak hanya dihadiri umat Buddha, acara ini juga dihadiri belasan tamu lintas agama dari perwakilan forum kerukunan umat beragama. Menurut Bapak Daryono, acara ini dapat menumbuhkan rasa toleransi antar umat beragama dan merasa bahwa kita semua adalah saudara, memiliki cita-cita yang sama untuk memajukan dan membanggakan bangsa Indonesia.
Kegiatan vihara
Meskipun pemeluk agama Buddha terbilang sedikit, namun mereka masih aktif dan rajin melakukan ibadah di vihara. Ibadah yang dilakukan di vihara ini terdiri dari 3 jenis, yaitu :
- Ibadah Umum (Puja Bakti Umum) : ibadah ini rutin dilakukan setiap minggu malam oleh pemeluk agama Buddha dipimpin seorang pemuka agama (Pandita), Bapak Daryono.
- Sekolah Minggu : ibadah ini merupakan kegiatan untuk anak-anak yang diadakan setiap minggu pagi.
- Anjangsana : setiap malam Jumat Kliwon, selalu berkunjung ke rumah rumah. Ini dilakukan agar lebih akrab satu sama lain dan menyambung silaturahmi.
Selain mengurus kegiatan sembahyang di vihara, Daryono selaku pandita, juga mengurus perkawinan, orang meninggal, hajatan, dan juga kegiatan lainnya. Bhikku Tudong, rombongan bhikku yang berjalan dari Thailand menuju ke Borobudur juga sempat singgah dan melakukan ibadah di vihara ini.
Penemuan Arca Ganesha
Sebelum masuk ke vihara Buddha Dipa, kita akan disambut sebuah arca yang diletakkan di depan pintu masuk vihara, arca ini bernama Arca Ganesha atau Ganapati. Arca ini merupakan salah satu temuan bersejarah di Kelurahan Pakintelan yang ditemukan warga dan dibawa oleh mendiang Mbah Salewang ke vihara tersebut. Menurut beberapa orang, arca ini diyakini dibuat sekitar tahun 6-7 M.
Ganesha merupakan simbol ilmu pengetahuan, namun di agama Buddha, Ganesha dimaknai sebagai simbol penjaga darma atau penjaga kebenaran. Jika dilihat secara tekstur atau ornamennya, arca ini masih terbilang sederhana. Patung dan arca merupakan dua hal yang berbeda. Meski sama-sama terbuat dari batu maupun kayu, namun akan berbeda jika dilihat dari kegunaan sehari-hari.
Patung merupakan benda seni, sebagai lambang dari keindahan, sedangkan arca merupakan patung yang sudah di abhiseka atau disembahyangi. Arca digunakan sebagai objek sembahyang atau pemujaan, sedangkan patung-patung di pinggir jalan itu bukan arca karena tidak digunakan untuk sembahyang atau simbol penghormatan.
Sebenarnya penemuannya tidak hanya arca Ganesha, ada arca Nandhi yang dibawa ke museum Ranggawarsita. Bahkan, arca Ganesha yang saat ini berada di vihara Buddha Dipa ini sudah tercatat di PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional) dari museum dan dilindungi oleh BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya).
Vihara Buddha Dipa selain menjadi tempat untuk beribadah umat Buddha, dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata religi karena mengandung nilai-nilai sejarah. Karena punya nilai sejarah tinggi, Vihara Buddha Dipa, jika dikelola secara profesional bisa mendatangkan banyak wisatawa, tidak hanya wisatawan lokal, tapi juga mancanegara.(Jihan Irlani, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |