Banyu Urip, Sambungmacan, 1742
Berbagai patung berjajar di pelataran, seperti setia menanti nasibnya akan berlabuh di mana. Wanggi, pembuat patung-patung itu duduk di serambi rumah, terpaku memandangi saksama satu per satu figur ciptaannya itu. Dia mengingat-ingat pamor apa yang dulu diberikan kepada mereka. Sebagian besar patung dan relief itu pesanan dari Luwika, Demang Sukadana yang berhasil memimpin daerahnya. Kabarnya pembangunan Kademangan Sukadana terkenal seantero Bumi Sukawati. Wanggi berpikir, akankah semua figur itu akan mendapat tempat lalu ikut menandai sebuah zaman, atau kelak sia-sia karena akan dianggap sebagai benda yang tidak berarti apa-apa.
Wanggi, pemahat ulung yang dilahirkan dari keluarga biasa itu sedang gundah, dan terus memperhatikan patung-patung ciptaannya. Kesedihan hati Wanggi tiba-tiba melangit saat dia teringat kembali kenyataan hancurnya patung, relief dan candi di Kraton Kartasura, di mana kakek Wanggi dulu ikut membuatnya. Semua patung dan relief terhempas tanpa sisa, dilenyapkan oleh Geger Pacina. Sebagai pekerja seni, Wanggi risau memikirkan semua itu dan merasa tidak rela. Bahkan, meski perang itu dengan alasan luhur sekali pun, dia tetap tidak ikhlas. Dalam hatinya mengutuk.
Kegundahan Wanggi selalu muncul setiap kali mendengar kabar serupa, terlebih sejak dia menyadari di dalam dirinya terdapat bakat seni pahat yang luar biasa. Sementara di sisi lain selalu ada orang yang sengaja menghancurkan patung-patung, relief dan candi. Dia masih ingat betul ketika pertama kali karya-karya kakeknya dihancurkan yang seperti itu hampir selalu bersamaan dengan terjadinya perang. Bahkan Wanggi pernah mendengar pernyataan dari beberapa perusuh yang mengatakan bahwa patung, relief dan candi sudah tidak zamannya lagi. Oleh karena itu, dengan tidak mengingkari dari kasta mana dia lahir, kepada jiwanya dia berjanji, akan ikut berperan menentukan jalannya sejarah. Dia akan menumpas segala bentuk kesewenang-wenangan.
Wanggi, pemuda unik yang pemberani, kakeknya seorang seniman pahat perantauan dari Bali. Mungkin karena itulah dia punya bakat luar biasa perihal dunia pahat. Kehidupannya yang susah menjadikan dia tumbuh jadi pemuda berwatak keras dan ulet. Dia juga tak segan menumpas segala angkara yang datang. Tak terkecuali angkara murka dari para pembesar kerajaan, terlebih kompeni.
Karenanya ketika dia teringat kembali karya-karya kakeknya lenyap oleh Geger Pacina, dia menjadi geram. Dia merenungi sejarah awal karya leluhurnya itu, dan tiba-tiba wajahnya menjadi merah padam. Seketika dia memegang palu besar. Berjalan menuju salah satu batu di halaman rumahnya. Dipukulnya keras-keras batu hitam sebesar anak gajah. Tidak begitu jelas, akan memahat atau sedang berkehendak menghacurkannya. Dilihat dari cara pukulannya, seperti tidak ada sangkut pautnya dengan teknik memahat. Setelah beberapa kali melakukan pukulan, dia berhenti sejenak, seperti mencari sesuatu. Benar, ia mencari tatah yang cukup besar. Tatah itu diraih, lalu dia mulai memahat, tetapi masih dengan pukulan-pukulan yang sangat keras. Sekali lagi, pukulan pahatannya sulit diterjemahkan. Ngawur dan penuh dengan nafsu. Hasil dari pahatannya pun tidak seperti biasanya.
“Sial!” serapahnya dengan nada tinggi.
Tanpa dia sadari, dua orang pengikutnya, Yasyar dan Barak mengamati kejanggalan itu.
“Kang Wanggi,” sapa Barak.
“Yasyar, Barak,” sahut Wanggi dengan napas tidak teratur.
Anak buah Wanggi mengira, Wanggi tidak ingin menyerah untuk membuat patung tanpa lebih dulu punya gambaran figurnya, tetapi Wanggi membantah. Dia mengatakan tidak sedang memahat tapi pelampiasan amarah.
“Kang Wanggi baik-baik saja?” tanya Yasyar.
Meski begitu, Wanggi berusaha dengan cepat menguasai diri, lalu meyakinkan kepada anak buahnya bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan. Wanggi berusaha mengalihkan perhatian dengan menanyakan tentang perkembangan keadaan Kraton Kartasura.
“Kanjeng Sinuwun Paku Buwana II ternyata lari ke Panaraga, Kang,” jawab Yasyar.
Rupanya kabar yang disampaikan anak buahnya itu tidak mengejutkannya, bahkan dia sudah menduga. Menurut Wanggi jika Paku Buwana II teguh dalam pendirian dan tidak mencla-mencle, Kraton Kartasura tidak akan hancur. Kehancuran itu karena kesalahan Paku Buwana II sendiri.
Meski sebenarnya anak buah Wanggi juga sudah mendengar kabar yang sedang ramai saat itu tetapi untuk memberi kejelasan, Wanggi berusaha menerangkan. Kata Wanggi, pada awalnya Paku Buwana II memihak pemberontak Cina untuk menghancurkan benteng kompeni di Kartasura. Pada saat itu kompeni kalah lalu minta bantuan kepada Panembahan Cakraningrat dari Madura dan berhasil menakhlukkan pemberontak Cina. Menurut Wanggi, Paku Buwana II ketakutan lalu berbalik berpihak pada kompeni. Itulah penyebab pemberontakan Raden Mas Garendi yang didukung oleh pemberontak Cina saat menggempur Kraton Kartasura hingga lumpuh, lalu larilah dia ke Panaraga. Kini Kraton Kartasura berada di tangan Raden Garendi, yang oleh pengikut-pengikutnya disebut Sunan Kuning. “Oya, menurut kalian perginya Paku Buwana II ke Panaraga lewat mana?” tanya Wanggi kemudian.
“Mestinya menembus hutan Lawu Kang. Karena jika lewat sini, tentu kita tahu,” jawab Yasyar.
“Ketika kalian pergi ke Kartasura waktu itu pastinya sempat melihat kondisi fisik kraton?” tanya Wanggi. Sepertinya Wanggi masih penasaran dengan kondisi bangunan dan patung-patungnya.
“Benar Kang. Rusak parah. Pastinya karena perang yang Kang Wanggi ceritakan itu,” jawab Barak.
“Termasuk bangunan-bangunan itu,” gumam Wanggi.
“Maksud Kang Wanggi bangunan yang mana?” jawab Yasyar.
“Dulunya, di sekitar kraton ada bangunan-bangunan kecil, semacam candi dan patung-patung,” jelas Wanggi lagi.
“Ada apa dengan bangunan-bangunan dan patung-patung itu, Kang?” Yasyar balik bertanya.
“Apakah aku belum pernah cerita?” tanya Wanggi. Dan tanpa menunggu jawaban anak buahnya, Wanggi menceritakan bahwa dulu kakeknya ikut mengerjakan pembuatan patung, relief dan candi yang ada di sekitar kraton Kartasura itu.
“Saya tidak melihat lagi bangunan dan patung-patung yang Kang Wanggi maksud,” kata Yasyar.
“Berarti telah banyak simbol-simbol kejayaan masa lalu dilenyapkan oleh generasi berikutnya, Termasuk karya kakek Kang Wanggi,” kata Barak.
“Mengapa bisa begitu, Kang? Apakah ini ada hubungannya dengan kepercayaan atau agama?” tanya Yasyar kemudian.
“Sebenarnya bukan masalah itu, tetapi memang ada beberapa perusuh yang melakukan penghancuran patung, relief dan candi. Pada intinya mereka ingin memecah-belah Nusantara dengan berbagai perilaku licik,” jawab Wanggi.
“Apakah boleh begitu, Kang?” tanya Yasyar.
“Kita bisa memaknai relief, candi dan patung sebagai bukti perjalanan sejarah,” terang Wanggi lagi.
“Bagaimana dengan pemimpin-pemimpin di tanah Jawa, Kang?” tanya Yasyar.
Wanggi mengatakan, mereka cenderung tidak peduli dengan sejarah itu sendiri. Rupanya setiap kali generasi penguasa berganti, rakyat akan selalu dihadapkan kepada kebijakan yang terus berganti dan berbeda. Biasanya akan sesuai dengan tabiat penguasanya. Celakanya, rakyat selalu dipaksa harus sekehendak dengan sikap siapa yang berkuasa.
“Apakah kita juga akan mengikuti kehendak itu, Kang?” tanya Yasyar.
“Kita bukan barang dolanan, yang bisa disuruh seenak udelnya,” jawab Wanggi.
“Bukankah kita bisa dianggap memberontak terhadap penguasa, Kang?”
“Menurutku penguasa yang benar adalah yang tidak membela penjajah,” sahut Wanggi. “Maksudmu penguasa yang mana?” tanya Wanggi kemudian.***
Yuditeha
Menulis puisi dan cerita. Pendiri Komunitas Kamar Kata.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |