APA yang sedang terjadi di Kemuning dua bulan terakhir ini, akhirnya menggerakkan hati untuk menuliskan kemudian membagikannya dalam tulisan ini. Duduklah dengan tenang. Siapkan segelas teh hangat, dan jangan lupa sulut kretek yang masih tersisa.
Perlu dituliskan untuk diketahui sebagai informasi bahwa telah terjadi perusakan lingkungan dengan dalih alih-fungsi lahan. Kebun teh yang menjadi salah satu ikon kabupaten dan tempat di mana warga sekitar memberdayakan sektor perekonomian, diupayakan oleh beberapa “pihak-terkait” dengan mengalihfungsikan lahan untuk lebih produktif.
Namun, ironisnya, baru di tahap awal, langkah yang ditempuh justru kontra produktif dengan tujuannya. Terlebih, iklim cuaca yang tengah berlangsung seakan memberi gambaran bagaimana dampak yang kelak terjadi.
Atas kejadian demikian, akhirnya menimbulkan ketegangan antar lapisan. Beberapa warga tak lagi saling menyapa, saling curiga, bahkan kabarnya harus berpindah tempat kerja.
Tepat di Januari akhir, satu agenda digelar. Sengaja dipersiapkan selain untuk merayakan perkawanan, tersemat niat membangun obrolan dan membangunkan sebuah “peringatan”. Kesadaran akan kewaskitaan terhadap kelestarian sekitar. Spanduk-spanduk bermunculan di tepi jalan. Kasak kusuk hinggap di percakapan. JagaLawu menanti kesempatan, kapan warga sekitar sepakat bergandeng tangan dan angkat bicara atasnama: Penolakan Perusakan Lingkungan.
Beberapa pendekatan diupayakan, namun sayangnya diabaikan. Selang beberapa pekan, beredar poster di sosial media yang masif dikabarkan dengan bertuliskan, “Kehadiran rekan-rekan sekalian menjadi sebuah bentuk keterlibatan, dalam upaya menggalang kekuatan sekaligus wujud dukungan dan keberpihakan, bahwa kelestarian harus tetap dipertahankan.”
Menjelang Ramadan forum rakyat dilaksanakan. Orang-orang dari luar Kemuning satu per satu berdatangan. Beberapa warga Kemuning lantang berpendapat di depan halaman Kantor Kecamatan.
Dalam menyikapi setiap sikap masyarakat, pihak yang terlibat maupun terkait baiknya lebih tertuju sekaligus terfokus pada: mengapa mereka bersikap seperti ini. Terlebih, sikap masyarakat yang kontra terhadap upaya perusakan lingkungan, rasanya tak perlu ada banyak alasan yang harus diungkapkan.
Sementara, bagi warga lainnya yang merasa tidak suka, atau setidaknya terganggu kenyamanannya atas aktivitas tetangganya yang sedang “mencoba bersuara”, boleh kiranya sesekali mencoba memahami: apa yang sebenarnya dirasakan oleh mereka. Barangkali, apa yang mereka suarakan secara tidak langsung juga mewakilkan sikap kita sendiri acapkali menyangkut keberlangsungan akan hajat hidup. Sekalipun, diam atau tidak peduli juga merupakan bagian dari sebuah pilihan.
Pengoperasian alat berat dihentikan, bulan puasa dapat dijalankan dengan nyaman. Sebelum atau sesudah Lebaran, semoga-warga sekitar dan kita semua-tidak lupa : bahwa masih ada forum lanjutan yang kabarnya akan kembali dijadwalkan. Sebab, kepedulian pada akhirnya harus dibayar tuntas dengan menanggungnya bersama kesetiaan.
Jika orang-orang yang tetap memilih untuk menyatakan sikap “tidak setuju terhadap segala bentuk perusakan lingkungan” sudah hampir punah atau tidak banyak jumlahnya, biarlah siapapun saja-saat ini yang tersisa bersikap dengan sebaik-baiknya, sepantas-pantasnya, sehormat-hormatnya.
Pastikan asbakmu tidak terlalu banyak terisi. Lihat, sudah berapa batang kretek yang kau bakar? Salam, JagaLawu.
Bli. Misbahuddin, penulis.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |