LOKAWARTA.COM,KARANGANYAR-Bagi kebanyakan orang, belatung, magot, atau singgat itu nggilani, menjijikan, sumber bibit penyakit. Makanya, mereka berupaya menyingkirkan atau memusnahkan binatang itu. Namun bagi Angga tidak. Belatung punya potensi bisnis untuk dibudidaykan.
“Permintaannya sangat banyak, hingga saya kuwalahan melayani, makanya saya menerapkan pre order karena antrian banyak sedang barangnya terbatas,” kata Angga di sela pameran UMKM di Balai Desa Kwangsan Jumapolo, Kamis (2/5/2022), saat penandatangan program Farmer Organization for Asia (FO4A).
Perkenalan Angga Restu Kurniawan (29) dengan budidaya magot bermula sampah dari rumah makan miliknya sampai ke ruko sebelah karena dibawa tikus waktu malam.Kemudian, dia berfikir bagaimana mengolah sampah itu biar tidak jadi masalah baru.
Lantas, dia mendengar informasi magot dari sebuah ponpes yang disiarkan di televisi. “Saya coba akhirnya sampai sekarang ini malah membawa keuntungan di luar dugaan saya,” katanya.
Langkah awal, dia membeli telur lalat tentara hitam atau hermetia illucens, salah satu jenis lalat yang biasanya ditemukan di tempat-tempat sampah organik. Telurnya dibuat untuk indukan hingga jadi lalat. Sampai lalat itu bertelur, dan 30 persen telur tak tetaskan, karena untuk indukan lagi begitu seterusnya.
Kemudian, lalat itu ditempatkan di jaring untuk berkembang biak. Lalat bertelur diatas media yang aromanya menyengat. Jadi di dalam jaring saya beri pancingan lalat untuk bertelur sekaligus tempat bertelurnya lalat.
Dari telur sampai jadi lalat yang memproduksi telur waktunya sekitar 40 hari. Dan untuk belatung dipanen, umurnya 17-21 hari. Telur dari tempat bertelurnya dikerok untuk ditetaskan dulu dalam waktu 4 hari, menetas menjadi magot.
Magot setelah umur 5 hari baru diberikan sampah organik. “Lalat tentara hitam tak menyebarkan penyakit. Selama tujuh sampai 14 hari minum embun dan tak makan hanya beranak.”
Ada pun untuk menadapatkan sampah organik untuk bahan baku, Angga mencari sisa sisa makanan dari hotel, restoran, rumah makan di pinggir-pinggir jalan. Belakangan, dia juga mencoba kotoran hewan sebagai bahan baku.
“Bahan bakunya ini kan gratis dari sisa sisa makanan dan kotoran, jadi harganya lebih murah,” kata dia yang sebelumnya sempat mengelola resto itu.
Lulusan Tehnik Informatika Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang kini tinggal di Jumapolo Karanganyar menawarkan belatung hasil budi dayanya itu secara online melalui media sosial atau market place, selain secara langsung ke komunitas komunitas, terutama penghobi binatang.
Melalui online, wilayah penjualan bisa lebih luas. Dia sempat mengirim magot ke Nusa Tenggara, Aceh, hingga Malaysia. Magot-magot itu dikirim dalam wujud hidup maupun kering yang sudah digoreng atau dioven dan kebanyakan untuk pakan ternak.
Seperti burung, ika, reptil, bahkan kucing sekalipun. Harganya Rp 15.500 per 250 per 250 gram untuk magot kering.
“Rasanya enak seperti laron yang digoreng. Tapi saya sarankan untuk tidak dikonsumsi, karena bisa mengakibatkan alergi sebab bisa menjadi proten asing dalam tubuh,” kata bapak satu anak itu.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |