SOLO,LOKAWARTA.COM-Sudah tiga tahun lamanya sejak 2020 harga rumah subsidi tidak kunjung naik. Terakhir, harga rumah subsidi naik di tahun 2020/2021 yakni menjadi Rp 150.500.000 per unit.
Padahal biasa pemerintah selalu meninjau ulang atau menaikkan harga rumah subsidi tiap dua tahun sekali dengan memperhatikan komponennya seperti harga tanah, harga material, dan upah buruh.
Sebagai catatan, tahun 2014 harga rumah subsidi senilai Rp 89 juta untuk ukuran 30 dengan luas tanah 60 M2. Harga itu naik menjadi Rp 110 juta di tahun 2016, dengan tipe dan ukuran lahan yang sama. Kemudian di 2018 naik menjadi Rp 138 juta dan naik lagi menjadi Rp 150 juta tahun 2020/2021.
Meski pemerintah bakal menaikkan harga rumah subsidi di tahun 2023 ini, pengembang justru kecewa dengan rencana itu, sebab kenaikannya hanya 4,89 persen, jauh dari harapan. Apalagi rencana kenaikan itu sudah disosialisasikan kepada sejumlah pengembang secara terbatas di Jakarta.
Jika dikalkulasi, menurut Wakil Ketua REI Jateng Bambang SR, kenaikan harga rumah subsidi yang hanya 4,89 persen tidak “cucok” dan tidak sebanding dengan kenaikan komponen harga rumah, harga tanah, harga material, upah buruh, dan inflasi.
Dengan berbagai perhitungan, akhir 2021, REI pusat telah mengajukan kenaikan harga rumah subsidi sebesar 7 persen. “Kalau naiknya hanya 4,89 persen, terus pengembang mau makan apa,” kata Bambang.
Hal senada dikatakan Ketua Apersi Soloraya Samari. Menurut Sam, dengan rencana kenaikan harga rumah subsidi yang hanya di kisaran 4,89% tentunya cukup berat bagi para pengembang di daerah -daerah.
Dikatakan, prosentase kenaikan 4,89% itu terlalu kecil, sehingga belum bisa menutup semua biaya operasional yang terkait. Pihaknya berharap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, juga harus tahu bahwa tingkat inflasi masing-masing daerah berbeda.
“Yang kita rasakan saat ini pengembang di daerah kenaikan harga material, baik material alam ataupun material pabrikan sangat tingg,” kata Sam.
Bambang SR khawatir, dengan kenaikan yang hanya segitu, hanya 4,89 persen, setelah tiga tahun lamanya, dan harga-harga komponen telah pengembang tinggi, akan menurunkan kualitas rumah subsidi yang dibangun pengembang karena harus menyesuaikan budget anggaran.
Selain itu, rumah yang dibangun juga akan lebih jauh dari perkotaan karena tanah di pinggiran kota sudah terlalu mahal. “Kalau sudah konsumen yang rugi, selain pengembang juga rugi,” kata Bambang.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |