LOKAWARTA.COM,SOLO-Para eksporter minyak jelantah di Jawa Tengah berkeluh kesah. Mereka sedang dihadapkan pada masalah, lantaran tak bisa lagi ekspor minyak jelantah.
Mereka menilai pemerintah payah, lantaran biaya ekspor minyak jelantah yang sebenarnya limbah disamakan dengan minyak sawit yang kini harganya tidak murah.
Lantaran ekspor terhenti dalam empat bulan ini, kata Respati Ardi, kegiatan ekonomi juga terhenti. Rezeki para pengepul minyak jelantah terhenti karena mereka terancam tidak bekerja lagi.
Dampak lainnya, kata dia yang juga pengusaha muda, limbah dari rumah tangga itu akan menjadi petaka. Bisa saja minyak jelantah itu dibuang di got, parit, atau di mana-mana, karena sudah tidak lagi diterima.
Masalah lainnya lagi, bagi Respati Ardi, minyak jelantah itu dicampur atau dioplos dengan minyak sawit untuk dikemas dan dijual lagi.
“Ini yang tidak kita inginkan. Karena para pengepul minyak jelantah itu sudah tidak bisa lagi makan, apa pun akan mereka lakukan,” kata Ardi didampingi teman-teman, Senin (4/7/2022) siang.
“Di Jawa Tengah, dari pengepul bisa terkumpul sekitar 5.000 ton minyak jelantah per bulan. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau minyak jelantah itu terbuang di jalan jalan karena eksporter kesulitan berjualan,” kata dia meyakinkan.
Kolega Respati Ardi sesama eksporter jelantah, Yosi Brian, menambahkan, dari pada dibuang, minyak jelantah yang merupakan limbah rumah tangga dan rumah makan itu bisa dimanfaatkan, yakni diekspor ke Eropa, Singapura, atau ke negeri jiran.
Di luar negeri, minyak jelantah itu didaur ulang dan dimasak lagi menjadi biodiesel, bahan bakar pesawat terbang atau minyak sayur lagi. Sementara di negeri sendiri, belum ada mesin atau industri yang mengolah minyak jelantah agar bisa bermanfaat lagi seperti di luar negeri.
Nah, karena minyak jelantah yang merupakan sisa minyak goreng itu dikategorikan limbah (used cooking oils), maka perlakuan maupun biaya ekspor tidak bisa disamakan dengan minyak sawit atau CPO (crode palm oil), harus terpisah.
Semula tarif ekspor minyak jelantah hanya 35 Dolar AS. Lalu dengan aturan baru, nilainya ditambah 448 Dolar AS sehingga menjadi 483 Dolar AS. Dengan kenaikan tarif yang begitu tinggi, tentu para eksporter keberatan. Apalagi eksporter juga masih mengeluarkan biaya pengapalan, membayar para pengepul, dan lainnya.
Baik Respati Ardi maupun Yosi, meyakini, munculnya aturan baru ini tidak lepas dari dugaan penyalahgunaan izin ekspor minyak jelantah untuk ekspor minyak sawit, sehingga biaya ekspor keduanya disamaratakan.
“Mestinya tidak seperti ini, kalau memang terbukti ada oknum yang menyalahgunakan izin ekspor jelantah untuk ekspor minyak sawit, itu urusan aparat hukum, jangan lantas digebyah uyah atau disamaratakan aturannya, ini tidak pas,” kata Ardi dan Yosi.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |