LOKAWARTA.COM,JAKARTA-Potensi dan peluang Bank Perkreditan Rakyat mendapat pendanaan dari pasar modal melalui skema go public mulai terbuka. Dewan Perwakilan Rakyat siap mendukung upaya itu dengan amandemen UU Nomer 10/1998 tentang Perbankan.
Hal itu dikatakan anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Dr. Musthofa dalam seminar “Potensi dan Peluang BPR Go Public dan Go Digital” sekaligus peluncuran buku biografi “Kepeloporan dan Keteladanan Bankir Wymbo Widjaksono”, di Hotel Jakarta, Jumat, 17 Juni 2022.
“Kami di Panja DPR siap mendukung dan mensupport penuh langkah langkah ke arah itu, termasuk usulan amandemen UU Perbankan, UU BI, UU OJK, dan UU LPS,” ujar Musthofa.
Menurut Musthofa, BPR selama ini dipandang sebelah mata. Padahal, fungsi dan peran BPR tak beda jauh dengan bank umum, yakni sama-sama menjalankan fungsi intermediasi. “BPR bahkan menjadi ujung tombak lembaga keuangan nasional dalam menggerakkan UMKM.”
Ya, permodalan menjadi masalah utama di BPR, terlebih setelah adanya kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti BPR minimum sesuai POJK No 5/POJK.03/2015. Menurut POJK tersebut, modal inti BPR minimum ditetapkan sebesar Rp 6 miliar yang wajib dipenuhi paling lambat 31 Desember 2024.
Padahal, masih banyak BPR yang memiliki modal inti di bawah Rp6 miliar. Menurut data Infobank Institute, per Januari 2022, ada 501 (30,7%) BPR bermodal inti di bawah Rp 6 miliar dari total jumlah BPR sebanyak 1.631 BPR (1.467 BPR dan 164 BPRS).
Jumlah terbanyak BPR dengan modal inti Rp 6 miliar sampai dengan di bawah Rp 15 miliar, yakni 727 (44,7%) BPR. Sementara, BPR dengan modal inti Rp 15 miliar sampai dengan di bawah Rp50 miliar ada 307 (18,8%) BPR. Hanya 96 (5,9%) BPR dengan modal inti Rp 50 miliar ke atas.
Masih banyaknya jumlah BPR dengan modal inti di bawah Rp 6 miliar membutuhkan perhatian khusus semua stakeholders. Sebab, tak semua pemegang saham memiliki kemampuan untuk menambah permodalan dengan setor modal.
Untuk mendapatkan permodalan dari mitra strategis juga tak mudah, apalagi dari investor asing. Sebab, sesuai UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, khususnya Pasal 23, BPR hanya boleh didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI).
Berbeda dengan bank umum, yang memungkinkan mendapatkan pendanaan dari investor asing melalui sistem kemitraan, sesuai Pasal 22 UU Perbankan.
“Masalah utama BPR itu memang terkait permodalan. Masih ada 501 BPR yang modalnya di bawah Rp6 miliar. Sementara bisnis bank seperti marathon, harus punya napas panjang, jangka panjang,” ujar Eko B. Supriyanto, S.E., M.E., Chairman Infobank Institute,
Menurut Eko, cara untuk menambah modal BPR yang paling mungkin saat ini adalah, pemilik menyetorkan tambahan modal. Bisa juga mengajak partner strategis untuk bergabung.
“Tapi, cara yang paling keren adalah mencari pendanaan ke pasar modal, dengan melakukan go public,” tegas Eko.
Sayangnya, regulasi tidak memungkinkan BPR untuk melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) atau go public. Regulasi ini, yang menurut Eko, perlu diamandemen, karena sudah tidak relevan lagi.
“Lha waralaba seperti Alfamart saja boleh go public. Itu lihat fintech (perusahaan financial technology) saja dananya asing semua. Masak BPR ndak boleh. Emang duitnya mau dibawa lari keluar, kan ndak juga,” papar Eko.
Menurut Eko, dengan go public kelangsungan hidup BPR justru akan semakin terjamin. Kinerja BPR akan semakin GCG dan makin transparan. Sudah tidak relevan lagi dikotomi kepemilikan asing dan bukan asing sekarang ini.
“Untuk itu, UU Perbankan yang sudah tidak relevan dengan zaman ini harus diamandeman, bersama Undang-undang BI, OJK, dan LPS,” saran Eko.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |