RENCENA pemerintah melakukan hapus kredit macet UMKM hingga Rp 500 juta di bank BUMN mengundang polemik di masyarakat, terutama perbankan. Dikhawatirkan, dengan hapus buku itu dimagnai seolah hutang para debitur lunas dan tidak akan perlu bayar kredit lagi.
Padaha hapus buku kredit macet itu beda dengan hapus tagih. Artinya walau sudah dihapus buku, bukan berarti agunanya boleh diambil para nasabah UMKM yang pinjam di bank, sehingga kalau ambil agunan tetap harus bayar semua kewajiban dan di SLIK (BI cecking) kalau belum dilunasi akan tetap muncul kolektibilitas macet.
Ya, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) setuju, pemerintah menggodok peraturan turunan dari rencana hapus kredit macet UMKM. Aturan ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Pasal 250 Bab XIX UU PPSK mengatur bahwa kredit macet bank dan non-bank BUMN kepada UMKM dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada sektor tersebut.
Hapus buku tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan telah dilakukan upaya restrukturisasi dan bank atau non-bank telah melakukan upaya penagihan secara optimal, termasuk upaya restrukturisasi, tetapi tidak berhasil.
Dalam Pasal 251, kerugian yang dialami oleh bank atau non-bank BUMN dalam melaksanakan hapus buku tersebut merupakan kerugian masing-masing perusahaan.
UU PPSK juga mengatur bahwa hal itu bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan itu dilakukan berdasarkan itikad baik, ketentuan hukum yang berlaku, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Perkara hapus tagih tersebut sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Melihat ke belakang, Bank Indonesia (BI) pernah menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 7 tahun 2005 yang memfasilitasi debitur, khususnya debitur mikro dan debitur kecil akan restrukturisasi dan penghapusan kredit macet di perbankan.
Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 14 tahun 2005 dan PP nomor 33 tahun 2006 yang mengatur program penghapusan kredit macet di bank BUMN.
Kedua PP tersebut kemudian diubah di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama, menjadi PP nomor 35 tahun 2017.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin menilai bahwa bank BUMN terkesan lambat dalam merespon peraturan hapus kredit macet yang sebelum UU PPSK telah ada karena mereka harus sangat cermat dan berhati-hati dalam memperhitungkannya.
“Kenapa? Kalau terjadi kerugian negara itu bisa masuk pasal korupsi. Maka itu akan membahayakan posisi pejabat yang menyetujui penghapusbukuan,” ujar Amin.
Secara umum, kata Amin, nilai kredit segmen UMKM ini memang tidak terlalu besar. Meskipun begitu, jumlah rekening atau nasabah yang menerima kredit UMKM itu cukup banyak.
“Kalau kredit macet itu sudah hapus buku kan berarti ada peluang, ada potensi buat si customer ini mengajukan pinjaman kembali. Itu sehingga harus benar-benar diperhitungkan dengan cermat. Jangan sampai salah langkah dalam menetapkan mana-mana nasabah yang masuk kategori yang layak untuk dihapus buku dan mana yang tidak,” terang Amin.
Adapun per Maret 2023, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), termasuk kredit macet di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) sebesar 3,02%. Sektor mikro tercatat memiliki rasio NPL 2,24%, kecil 4,45%, dan menengah 2,06%.
Kemudian, PT Bank Mandiri (Persero) tercatat memiliki rasio NPL 1,7%. Sektor mikro tercatat memiliki rasio NPL 1,15% dan kecil serta menengah (SME) 0,93%.
Pada periode yang sama, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) atau BNI tercatat rasio NPL 2,8%. Sektor kecil tercatat memiliki rasio NPL 2,6% dan menengah 6%.
Di sisi lain, Amin melihat juga ada potensi isu dari penerapan hapus kredit macet UMKM oleh perbankan, seperti praktik bank dalam “pilih-pilih” debitur UMKM yang dihapus kredit macetnya.
Selanjutnya, ada potensi bahwa debitur UMKM yang sudah dihapuskan kredit macetnya akan kembali mengalami kredit macet lagi di kemudian hari.
“Hapus buku boleh, hilang dari akunnya bank atau spreadsheet gitu ya, nilainya zero (0), tapi tidak menghilangkan kewajiban dari yang bersangkutan untuk proses penagihan selanjutnya,” tambah Amin.
Hapus tagih adalah tindakan menghapus kewajiban debitur atas kredit yang tidak dapat diselesaikan. Berbeda, hapus buku adalah tindakan administrasi untuk menghapus kredit yang masuk kategori macet. Hal ini dilakukan tanpa menghapus hak tagih.
Hal tersebut tampaknya telah menjadi perhatian pemerintah. Menteri Koperasi dan dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan aturan pelaksana akan dibuat untuk mencegah penyelewengan, seperti yang terjadi di penghapusan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“PP-nya harus diatur karena ini bisa menjadi moral hazzard juga, seperti dulu penghapusan utang BLBI, kan bisa terjadi juga, tiba-tiba nanti banyak yang harus dihapuskan. Kita harus batasi, syaratnya nanti lagi diatur,” kata Teten.
BLBI yang dimaksud Teten merupakan dana talangan yang diberikan oleh negara kepada puluhan bank yang bangkrut karena krisis moneter 1998. Namun, sebagian besar dana tersebut diduga justru diselewengkan oleh pemilik bank. Pemerintah berupaya menagih, tapi sebagian utang itu sudah dihapuskan karena dianggap kredit macet.
Dukungan Himbara
Terpisah, Himpunan Bank Negara atau Himbara memberi dukungan penuh terhadap rencana pemerintah memberikan aturan yang lebih rigid mengenai hapus buku dan hapus tagih kredit UMKM.
Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan kebijakan tersebut akan mendorong pertumbuhan kredit, khususnya UMKM. Dengan demikian akan memberikan efek domino ke perekonomian.
Sama halnya dengan PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) yang juga menyambut baik rencana pemerintah menghapus kredit macet UMKM. Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha menyatakan bahwa sebagai “agent of development”, pihaknya berkomitmen untuk terus mendukung sektor UMKM.
Adapun selama ini bank-bank BUMN tidak melakukan hapus tagih kepada UMKM macet. Alhasil bank pelat merah perlu membentuk pencadangan yang akhirnya membuat “dana mengendap” naik dan juga biaya lain yang ditimbulkan dari penagihan.
Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo meyakini kebijakan ini tidak akan mempengaruhi kualitas portofolio kredit bank.
“Di samping itu, kami yakin kebijakan hapus tagih ini tidak akan mempengaruhi kualitas portofolio kredit bank karena pencatatannya sudah dikeluarkan dari neraca bank,” kata Okky.
“BNI dalam menjaga kualitas portofolio kredit selalu melakukan upaya perbaikan yang terangkum dalam End to End Credit Process untuk meningkatkan perbaikan kualitas kredit serta profitabilitas BNI,” terangnya.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan ‘best practice’ yang dibutuhkan dalam kegiatan perbankan secara umum, khususnya bank badan usaha milik negara (BUMN). Terlebih, bank-bank swasta sudah biasa melakukan kebijakan ini.
“Jelas sekarang dimaksudkan untuk merespon mungkin kesulitan ya, kesulitan dari bank pemerintah untuk bisa melakukan hal yang sama seperti halnya bank-bank swasta dalam konteks menghapus tagihan dan lain sebagainya itu,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae saat Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner OJK, Kamis (3/8/2023).(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : | cnbcindonesia.com, diolah |