LOKAWARTA.COM,JAKARTA-Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat menolak rencana akuisisi Unit Usaha Syariah Bank Tabungan Negara atau BTN Syariah oleh Bank Syariah Indonesia (BSI).
Penolakan konsorsium nasional yang terdiri dari berbagai asosiasi dan pelaku bisnis yang terkait properti itu terungkap dalam talkshow bertajuk “Pencaplokan” BTN Syariah Ancam Program Sejuta Rumah yang diadakan Kornas-Pera di Jakarta, Jumat (22/7/2022).
Menurut Kornas-Pera, akuisisi tersebut akan memperlemah dan mempersulit akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan pembiayaan perumahan khususnya yang berbasis syariah, lantaran BTN Syariah tidak dapat terlepas dari ekosistem pembiayaan perumahan.
Pihak konsorsium juga menganggap, aksi korporasi itu akan mengancam Program Sejuta Rumah yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apalagi perumahan rakyat adalah amanat konstitusi negara Pasal 28H ayat (1) UUD1945.
“BTN Syariah itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem, kinerja, dan kultur pembiayaan perumahan bersubsidi yang merupakan bagian penting dalam Program Sejuta Rumah,” kata Ketua Umum Kornas-Pera Muhammad Joni.
Kornas-Pera, menurut Joni, setuju dengan harapan para stakeholder perumahan bahwa BTN Syariah harus dibiarkan terus berkembang maju dan menjadi bagian dari pembiayaan yang fokus di perumahan.
Menurut dia, jika diambil atau dipindahkannya BTN Syariah ke BSI dimaksudkan untuk menyediakan industri perbankan halal yang lebih kuat, maka hal itu harus dilakukan dengan cara yang thoyyib (baik) dan sesuai perundang-undangan.
Dia meminta Kementerian BUMN tidak melupakan sejarah. Pasalnya, Bung Karno pada 1964 telah mengukuhkan keberadaan BTN dari sekadar bank pos menjadi permodelan institusi pembiayaan perumahan.
“BTN punya roadmap menjadi bank pembiayaan perumahan terbaik di Asia Tenggara tahun 2025. Apakah agenda BTN itu masih relevan dan tidak menjadi backfire apabila diambil alih oleh bank lain,” kata Joni.
Meski pun Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur adanya kewajiban bank umum konvensional yang memiliki UUS harus melakukan pemisahan (spin off), namun syaratnya jika asetnya sudah mencapai 50 persen dari aset bank induk.
“Pertanyaannya adalah pemisahan ke mana? Pasal 68 UU Perbankan Syariah menyebutkan pemisahan UUS dari bank induknya saja. Tidak kepada entitas bank yang lain selain induknya,” jelas Joni.
Masalahnya, pakem norma Pasal 68 UU Perbankan Syariah diperlebar oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 59 tahun 2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan UUS yang justru memperbolehkan pemisahan UUS dari bank induknya atau ke bank lain yang bukan induknya.
POJK ini, kata Joni, jelas kebablasan, karena mandat itu melampaui norma Pasal 68 UU Perbankan Syariah yang jelas dan tegas.
“Pendapat kami kalau pun dilakukan spin off, maka biarkan dia berdiri sendiri. Biarlah dia punya legal standing sebagai bank fokus pembiayaan perumahan dan fokus misi konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” kata Joni.
Apalagi secara kinerja dalam penyaluran KPR FLPP bersubsidi, jika BTN dan BTN Syariah digabung kontribusinya sudah mencapai 66 persen (data BP Tapera). Kalau diarahkan ke bank yang kinerja penyaluran KPR FLPP hanya 3 persen, tentu tidak logis.
Menurut Joni, kalau pemerintah ingin mengembangkan kapitalisasi BSI, maka caranya bukan dengan mengambil BTN Syariah karena tidak akan ada efeknya juga karena secara aset BTN Syariah tidak besar yakni sekitar Rp 37 triliun-Rp 38 triliun.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah menambahkan, kegelisahan timbul ketika isu merger atau akuisisi BTN Syariah oleh BSI.
Hal ini karena realisasi KPR termasuk KPR FLPP untuk rumah subsidi rata-rata berada di BTN dan BTN Syariah. Sementara kontribusi BSI hanya 3 persen.
“Pemikiran kita, bagaimana nasib rakyat yang ingin KPR BTN Syariah dialihkan dengan paksa? Hak konstitusi nasabah dan rakyat dipaksa untuk berpindah tanpa mengajak musyawarah terlebih dulu. Jadi ada hak konstitusi rakyat di situ,” ujar Junaidi.
Apersi sepakat dengan cita-cita PSR dan pemulihan ekonomi nasional pasca Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Semangat Presiden Jokowi tersebut harus didukung penuh oleh semua pihak termasuk Kementerian BUMN.
Menurut Junaidi, kegelisahan pengembang itu logis, mengingat ke depan juga tidak ada kepastian jika BTN Syariah sudah dipindah ke BSI, bagaimana pelaku usaha properti dapat memperoleh kredit konstruksi dan kredit pembebasan lahan. Pasalnya, bank yang sudah merger saja sampai sekarang belum solid.
“Apersi menilai, jangan mencaplok bank yang sudah berjalan dengan baik. Selain itu, perlu diingat bahwa sdalah satu penggerak ekonomi adalah pengembang dan 90 persen sektor properti ini melibatkan tenaga padat karya,” kata Junaidi.
Pengambilalihan BTN Syariah ini juga menjadi isu yang sensitif karena bank yang mau mengambil adalah bank fokus pembiayaan UMKM.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mendesak pemerintah mempertimbangkan secara matang rencana akuisisi BTN Syariah oleh BSI. Pasalnya, BTN Syariah adalah satu-satunya bank syariah yang fokus di perumahan.
“Kalau nanti BTN Syariah digabung atau dilebur ke bank lain, maka tinggal BTN konvensional sendirian yang fokus pada pembiayaan rumah subsidi. Padahal persentase penyaluran KPR FLPP bersubsidi justru seharusnya ditambah termasuk bank fokusnya,” ujar Totok.
Pihaknya khawatir, kalau tidak ada BTN dan BTN Syariah siapa yang akan memberikan kredit konstruksi dan kredit pembebasan lahan. Padahal mayoritas developer rumah subsidi adalah UMKM.
Karena itu, kata Totok, jika tidak ada kredit untuk developer rumah subsidi maka tidak akan ada yang akan merealisasikan pembangunan rumah rakyat.
“Sekali lagi mohon dipertimbangkan ulang, sehingga pembiayaan perumahan terlebih untuk MBR tidak mengalami stagnasi. Pengadaan rumah rakyat ini dijamin konstitusi dan mayoritas yang membutuhkan adalah para pekerja/buruh,” sebut Totok.
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : | kompas.com |