GULA PASIR merupakan salah satu komoditas yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebagai satu dari sembilan bahan pokok, gula pasir memainkan peranan penting sebagai pemberi cita rasa manis pada makanan maupun minuman. Memang ada beberapa jenis gula selain gula pasir, misalnya gula aren yang alih – alih terbuat dari tebu seperti gula pasir, justru terbuat dari nira bunga pohon keluarga palma seperti kelapa dan aren. Meski demikian, gula aren belum sanggup menggeser posisi gula pasir sebagai bahan makanan pemberi citarasa manis pada makanan maupun minuman.
Sejarah kehadiran gula pasir dapat ditelusuri pada tahun 9000 – 8000 SM. Orang asli Papua Nugini lah yang pertama kali membudidayakan tanaman tebu dan mengonsumsinya secara mentah. Setelah itu, pengetahuan mengenai metode penaman tebu mulai berkembang dan menyebar di Asia terutama ke India. Pemahaman mengenai tebu menyebar dengan cepat seiring berkembangnya peradaban dan pertukaran budaya (Eggleston, 2019).
Pada era kolonial Hindia – Belanda, gula menjadi komoditas andalan pemerintah kolonial untuk diperdagangkan di pasar Eropa. Awalnya, para pedagang Belanda mendatangi kepulauan Indonesia hanya untuk mencari dan membeli rempah-rempah lalu diperdagangkan di pasar Eropa. Rempah – rempah ini memang memberi keuntungan besar bagi para pedagang, namun ada satu komoditas lain di luar rempah-rempah yang juga terlihat menggiurkan dan memiliki keuntungan tidak kalah dengan rempah-rempah. Komoditas itu adalah gula, yang diperdagangkan para pedagang Tionghoa dan entah bagaimana hanya orang Tionghoa saja yang mengetahui proses pembuatannya. Gula sendiri ternyata memiliki permintaan yang cukup tinggi dan sangat diminati di Eropa, sehingga para pedagang Belanda melalui VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnive) berusaha memenuhi permintaan itu dengan membeli gula dari para pedagang Tionghoa.
Melihat ramainya permintaan gula di pasar gula dunia, pemerintah kolonial Hindia-Belanda segera mendirikan pabrik gula untuk memproduksi gula sendiri dan memenuhi permintaan pasar. Melalui program Cultuurstelsel atau Tanam Paksa, pemerintah kolonial mengharuskan 1/5 tanah yang dimiliki petani untuk ditanami tanaman khusus yang laku di pasaran, salah satunya adalah tebu yang menjadi bahan baku pembuatan gula pasir.
Pada abad ke-18, total ada 193 pabrik gula di Jawa. Pesatnya produksi gula berhasil menjadikan Jawa sebagai produsen gula terbanyak nomor dua di dunia tepat di bawah Kuba. Pabrik – pabrik gula ini kebanyakan dimiliki para pengusaha Eropa dan Cina. 100 pabrik diketahui terletak di Batavia, sementara sisanya tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Meski kebanyakan pabrik gula dimiliki pemerintah kolonial dan pengusaha asing, terdapat juga pabrik gula yang didirikan dan dimiliki oleh pribumi Jawa. Pabrik gula ini adalah Pabrik Gula Tasikmadu yang terletak di Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar. Orang dibalik berdirinya pabrik gula ini adalah seorang priyayi Mangkunegaran bernama RM Soediro atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Mangkunegara IV. Pabrik gula ini meski diinisiasi Mangkunegara IV, namun kepemilikannya tetap tertulis sebagai milik Praja Mangkunegaran. Selain Pabrik Gula Tasikmadu, Praja Mangkunegaran juga memiliki pabrik gula lain bernama Pabrik Gula Colomadu yang terletak di Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar.
Sejarah Berdirinya Pabrik Gula Tasikmadu
Pabrik Gula Tasikmadu adalah satu dari dua pabrik gula yang dimiliki Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran meletakkan batu pondasi pertama untuk Pabrik Gula Tasikmadu pada 11 Juni 1871 dan pabrik selesai dibangun pada tahun 1874. Pada bahasa Jawa, Tasikmadu memiliki makna “Lautan Madu”, nama yang harapannya hasil gula di pabrik ini melimpah ruah seperti lautan madu.
Pabrik Gula Tasikmadu terletak di Desa Sandakara, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar. Daerah ini merupakan dataran rendah yang letaknya berada di bagian barat dari lereng Gunung Lawu dan terletak di sebelah timur Kota Solo atau Surakarta. Sebagai dataran rendah yang terletak di lereng gunung, daerah ini memiliki tanah yang subur dan sesuai untuk ditanami tebu sebagai bahan baku pembuatan gula pasir.
Dibangunnya pabrik gula oleh Praja Mangkunegaran diawali kunjung Mangkunegara IV ke kediaman menantunya di Demak yang menjabat sebagai adipati di wilayah itu. Mangkunegara IV mengamati bahwasanya pohon tebu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan gula pasir, bisa tumbuh di lingkungan yang serupa dimana pohon kelapa tumbuh. Pohon kelapa sendiri pada saat itu digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula merah atau kerap disebut juga gula Jawa. Di wilayah Mangkunegaran, ada daerah serupa yang memiliki potensi untuk ditanami tanaman tebu karena sudah pernah ditanami pohon kelapa. Daerah tersebut Kawedanan Malang Jiwan yang sudah pernah menjadi daerah penghasil gula Jawa di kawasan Mangkunegaran. Berdasarkan pengamatan dan pemikiran kritisnya, Mangkunegara IV merasa bahwa diperlukan pembangunan industri gula berikut kebun tebu milik Mangkunegaran secara pribadi.
Setidaknya ada empat alasan penting Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula. Pertama, Mangkunegara IV menyadari bahwa permintaan gula sebagai komoditas ekspor baik di pasar lokal maupun internasional sedang meroket. Kedua, tanaman tebu sebagai bahan baku pembuatan gula telah lebih dulu ditanam di beberapa lahan Praja Mangkunegaran yang disewakan pada investor asing. Ketiga, pendapatan Praja Mangkunegaran melalui pajak dan penyewaan tanah kepada pihak swasta belum mencukupi kebutuhan Praja Mangkunegaran. Keempat, Praja Mangkunegaran berusaha untuk lebih menonjol terlebih di dalam bidang ekonomi dibandingkan tiga praja kejawen yang lain, yakni Kasunanan, Kasultanan, dan Pakualaman.
Pada awalnya, penanaman dan penggilingan tebu di Pabrik Gula Tasikmadu dilaksanakan tidak secara teratur. Penanaman dan penggilingan tebu hanya dilakukan ketika produksi kopi tidak memberi keuntungan besar. Namun, dengan seiring banyaknya permintaan akan gula serta dilaksanakannya kontrak dengan Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM), Praja Mangkunegaran mulai memberlakukan penanaman wajib di Pabrik Gula Tasikmadu untuk memenuhi kebutuhan permintaan gula. Bahkan, penanaman tebu tidak hanya dilakukan di sekitar Pabrik Gula Tasikmadu saja, melainkan sampai harus merubah kebun nila (indigo) di Kutuan, Sragen menjadi perkebunan tebu demi mencukupi permintaan gula pasir yang semakin meningkat.
Pabrik Gula Tasikmadu walaupun menjadi pabrik gula yang didirikan pribumi, namun dalam proses pembangunan maupun produksi gula selalu melibatkan tenaga kerja dan bahan-bahan dari Eropa. Contohnya, Mangkunegara IV mendatangkan seorang ahli tanah dari Jerman bernama Robert Kamp untuk mengecek apakah tanah di Malangjiwan cocok ditanami tebu atau tidak. Selanjutnya, Mangkunegara IV juga mempekerjakan Robert Kamp untuk mengurusi manajemen sehari-hari pabrik gula milik Mangkunegaran. Bahkan anak dari R. Kamp yakni G. Smith juga dipekerjakan Mangkunegara IV untuk menggantikan ayahnya dalam menangani urusan pabrik gula karena R. Kamp dipindah untuk menangani perkebunan kopi milik Praja Mangkunegaran.
Mesin – mesin yang digunakan di Pabrik Gula Tasikmadu juga didatangkan langsung dari Eropa. Mesin-mesin di Pabrik Gula Tasikmadu sudah menggunakan mesin-mesin modern seperti mesin double effect yang dipasang pada tahun 1873, mesin triple effect yang dipasang pada tahun 1875, serta pemasangan carbonatie atau mesin pengkarbonan pada tahun 1876. Bentuk Pabrik Gula Tasikmadu juga didasarkan pada bentuk bangunan bergaya Eropa, yang menyajikan kesan mewah dan ekslusif. Orang – orang yang mengunjungi Kota Surakarta selalu meminta izin pada Praja Mangkunegaran untuk diperbolehkan mengunjungi pabrik gula milik Mangkunegaran.
Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu
Pabrik Gula Tasikmadu telah berdiri selama 1,5 abad lamanya hingga hari ini. Tentunya pabrik gula ini telah menjalani pasang surut serta naik turunnya produksi gula. Pada tahun 1880, terjadi proteksi gula bit di Eropa. Proteksi gula bit adalah kondisi dimana Eropa sebagai pasar terbesar gula pasir dari Jawa, memutuskan untuk beralih dari gula tebu menuju gula bit. Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan gula hasil produksi di Pabrik Gula Tasikmadu dan mengkibatkan turunnya harga gula tebu. Hal ini diperparah dengan ketidakcakapan Mangkunegara V dalam mengelola pabrik gula dan menyebarnya wabah tebu sereh yang menyebabkan produksi gula menjadi menurun. Akibatnya, Praja Mangkunegaran terpaksa harus mengutang dan terlilit hutang demi membiayai operasional pabrik. Akhirnya pada tahun 1887, demi menyelamatkan industri Mangkunegaran, Pemerintah Hindia – Belanda mengambil alih manajemen Pabrik Gula Tasikmadu.
Tidak selamanya Pabrik Gula Tasikmadu berada di tangan Pemerintah Hindia-Belanda. Mangkunegara VI sebagai penerus Mangkunegara V merupakan orang cakap dalam mengurus keuangan. Terbukti Praja Mangkunegaran sanggup melunasi hutang-hutangnya dan mengirim surat pada Residen Surakarta untuk meminta dikembalikannya Pabrik Gula Tasikmadu ke tangan Praja Mangkunegaran. Hal ini dikabulkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1898 dengan syarat seorang superintendent berkebangsaan Belanda harus membantu Praja Mangkunegaran dalam mengurus keuangan praja.
Tahun 1929 menjadi tahun yang berat bagi Pabrik Gula Tasikmadu. Krisis Malaise atau yang lebih dikenal sebagai Great Deppresion menjadi sumber utama menurunnya produksi gula Pabrik Gula Tasikmadu pada tahun 1929. Singkatnya, Krisis Malaise adalah krisis yang diawali dengan Bank of England yang melepaskan mata uang Inggris yaitu poundsterling dari standar emas pada tanggal 24 Oktober 1929. Selanjutnya, bursa saham di Wall Street, New York dan bursa saham di London mengalami penurunan drastis yang berimplikasi pada kacaunya ekonomi dunia. Kacaunya perekonomian dunia juga berdampak pada hasil produksi Pabrik Gula Tasikmadu, dimana permintaan akan gula pasir menurun dengan cepat dan hasil produksi menjadi menumpuk. Selain itu, areal lahan Pabrik Gula Tasikmadu juga berkurang secara drastis. Pada tahun 1929 luas areal PG Tasikmadu seluas 2.570,22 ha, pada tahun 1930 menurun ke 2.429,28 ha, sedangkan pada tahun 1937 turun hingga ke angka 1.550 ha.
Meski permintaan akan gula menurun, terjadi penumpukan produksi, serta luas areal lahan berkurang, produki gula Pabrik Tasikmadu justru berada di titik puncak pada tahun 1930-1931. Pada 1930 hasil produksi gula PG Tasikmadu mencapai angka 322.283 kwintal, sementara pada tahun 1931 mencapai angka 341.210 kwintal. Walaupun angka produksinya tinggi, namun harga serta jumlah gula yang diekspor justru semakin menurun sejak tahun 1930. Terbukti harga gula pada tahun 1929 mencapai angka 13,66 gulden per kwintal, sementara pada tahun 1930 harganya anjlok ke 9,60 gulden per kwintal dan terus menunjukkan tren penurunan. Mulai dari titik ini ke depan, Pabrik Gula Tasikmadu terus mengalami penurunan produksi hingga akhirnya berhenti menggiling tebu pada tahun 2021.(Daffa Adam Putra Pradana, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang).
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |