KALANGAN antropolog berpendapat bahwa manusia adalah zoon religion, yang tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan agama dan atau kepercayaan mistik. Sekafir apapun seseorang pasti memiliki rongga agama di dalam dirinya. Orang yang berfaham komunis bisa saja mengingkari adanya Tuhan tetapi tidak akan pernah bisa mengingkari adanya misteri kehidupan. Di mana ada misteri di situ ada God Spot yang bekerja di dalam alam bawah sadar manusia. Misteri kehidupan setiap manusia menjadi bukti adanya Tuhan yang biasa disebut kekuatan super natural, kekuatan gaib, keajaiban alam, atau apapun namanya.
Jauh sebelum agama-agama besar datang ke negeri ini seperti Hindu, Budha, Protestan, Katolik, Islam, dan Khonghucu, bangsa Indonesia sudah mengenal sistem religi, bahkan sejumlah etnik sudah mengenal konsep Tuhan Yang Maha Esa, seperti masyarakat Bugis-Makassar sebagaimana disebutkan di dalam Lontara (manuskrip kuno tercatat di dalam daun lontar, yang kini tersimpan di museum Belanda) menyebutkan kepercayaan terhadap Tuhan Dewata Sewwae (Dewata=Tuhan, Sewwa=Esa). Dalam Epik Lagaligo, yang oleh Prof. Zainal Abidin disebut sezaman dengan Nabi Muhammad, abad ke 6 M.) masyarakat Bugis Makassar sudah ber-Dewata Sewwa.
Bukti-bukti arkeologis dan antropologis menunjukkan adanya aktifitas manusia prasejarah di kawasan Nusantara semenjak ribuan tahun lalu. Ditemukannnya beberapa fosil manusia purba, seperti Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran), Pithecanthropus Robustus (Trinil), Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus), Pithecanthropus Dubius (Jetis), Pithecanthropus Mojokertensis (Perning), Homo Javanensis (Sambung Macan), Homo Soloensis (Ngandong), Homo Sapiens Archaic. Homo Sapiens Neandertahlman Asia, Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung), dan Homo Modernman, menunjukkan adanya masyarakat purba Nusantara.
Analisis kehidupan manusia purba Indonesia menunjukkan adanya aktifitas budaya dan peradaban serta sistem religi, sehingga sulit untuk mengatakan bahwa Hindu dan Islam yang begitu banyak memberi bekas di dalam seni, budaya, dan peradaban nusantara, seolah-olah memasuki ruang yang hampa budaya sehingga mereka dianggap mengisi kekosongan itu.
Justru para raja lokal serta merta memeluk agama Hindu-Budha kemudian Islam kerena dianggapnya bagian dari kelanjutan dari sistem religi yang dipertahankan secara turun temurun.
Ptolemaus, sang penemu banyak negeri, menggambarkan adanya kepulauan yang disebut Khersonesos (Yunani: Pulau emas) dan sejarah Cina yang disebutnya dengan Ye-po-ti yang di antaranya diperkenalkan dengan Jabadiou/Jawa. Di zaman ini sudah dikenal wilayah Jawadwipa, Swarnadwipa, Bugis, dan lain-lain. Masyarakat yang menghuni kepulauan ini sudah mengenal sistem religi dan mempercayai adanya kekuatan gaib dan sistem penyembahan terhadap kekuatan gaib tersebut. Ini membuktikan bahwa kemudahan masyarakat bangsa Indonesia memeluk agama yang baru dikenalnya karena mereka sudah memiliki pengalaman batin, yang antara satu sama lain agama-agama yang datang ke negeri ini memiliki unsur persamaan.
Analisis sistem budaya juga menggambarkan masa ini sebagai masa akulturasi yang amat penting, di mana budaya dan sistem religi luar bisa beradabtasi dalam konteks budaya kepulauan Nusantara. Di dalamnya ada pengaruh Hindu, Arab (Islam), Cina, Portugis, dan Inggris. Sistem budaya, sistem religi, sistem ekonomi, dan sistem teknologi sudah banyak ditemukan di pusat-pusat kerajaan Nusantara sejak dahulu kala.
Menarik untuk dikaji, agama-agama dan kepercayaan lokal di dalam masyarakat Nusantara masih tetap bertahan dalam dunia modern dan masyarakat global. Di sejumlah kelompok masyarakat di tanah air masih tetap mempertahankan ajaran leluhurnya, meskipun sudah diwarnai dengan variasi syinkretik atau bertumpang tindih dengan ajaran-ajaran agama yang datang sesudahnya.
Dari kenyataan ini bisa dipertanyakan anggapan kalangan orientalis yang mengatakan bahwa agama yang tidak masuk akal akan ditinggalkan pemeluknya. Banyak agama dan kepercayaan lokal, bahkan agama-agama besar mempunyai sistem ajaran yang tidak rasional tetapi tetap bertahan dan dipertahankan. (Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Menteri Agama)
catatan : artikel ini sebelumnya pernah keluar di berbagai media.
Editor | : | Pilih Nama Editor |
---|---|---|
Sumber | : |