SOLO,LOKAWARTA.COM-Bagi anak milenial yang suka berselfie ria, Gedung Djoeang Solo adalah tempat yang rekomended untuk jeprat jepret, baik sendiri, bersama teman, keluarga, maupun kolega.
Bangunannya yang artistik, unik, dan bergaya mediterania sangat mendukung untuk mendapatkan gambar yang eksotik dan menarik. Apalagi di malam hari yang didukung dengan sorot lampu yang temaram dan ornamen yang apik. Rasanya seperti sedang healing di Eropa.
Namun di Gedung Djoeang yang berlokasi di ujung timur Jalan Mayor Sunaryo Kedunglumbu Kecamatan Pasar Kliwon itu, tidak hanya untuk hang out atau berlibur saja, baik sendiri, bersama teman, keluarga, atau kolega.
Tapi juga bisa untuk menggelar berbagai acara dari yang sederhana hingga yang sedengan. Mulai dari acara kumpul-kumpul rapat, arisan, reuni, bazar, gathering, pameran, hingga konser musik mini. Event bisa digelar outdoor maupun indoor.
Soal kudapaan, jangan khawatir. Di Gedung Djoeang ada kedai / resto Gelatoku yang menjual berbagai roti/kue kekinian dan berbagai minuman. Untuk event besar, pengguna bisa pesan konsumsi pada FnB Hotel Petit selaku pengelola.
“Kami membuka bagi masyarakat luas yang akan berkunjung, berwisata, dan bikin acara di sini. Tempatnya unik, menarik, dan eksotik, serta mudah dijangkau karena berada di jantung Kota Solo, kata GM Hotel Petit dan Gedung Djoeang Solo Wening Damayanti di sela gathering media dan buka bersama, Rabu (20/3/2024).
Dibanding di tempat lain, healing di Gedung Djoeang Solo jauh lebih bermagna dan bakal menyimpan pengalaman yang sangat berharga. Sebab Gedung Djoeang yang dibangun 1876 itu adalah bangunan cagar budaya, heritage, dan dilindungi. Gedung Djoeang Solo juga punya sejarah panjang terkait pendudukan tentara Belanda dan perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam sejarahnya, Gedung Djoeang Solo yang selesai dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1880 itu masih dalam satu rangkaian dengan Benteng Vastenburg yang juga dibangun pemerintah Hindia Belanda dan lokasinya tidak begitu jauh dari Gedung Djoeang. Meski hanya bersisa benteng dan tanpa bangunan lain, namun Benteng Vastenburg lebih masyur karena sering digunakan untuk menggelar terutama pameran / expo dan konser musik.
Mengutip laman surakarta.go.id, Gedung Djoeang memiliki fungsi yang berbeda-beda setiap tahun. Gedung itu menjadi saksi bisu dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Selesai dibangun tahun 1880 hingga 1942 di zaman penjajahan Belanda, gedung ini dijadikan sebagai fasilitas pelayanan bagi tentara Belanda dan diberi nama cantienstraat yang artinya jalan kantin. Kantin ini kantin VIP, yang hanya untuk tentara Belanda berpangkat tinggi.
Karena letaknya yang berdekatan dengan Benteng Vastenburg, gedung ini juga difungsikan sebagai klinik bagi para tentara Belanda pada masa itu. Kemudian dijadikan sebagai asrama militer yang digunakan para tentara Belanda. Sebab, di awal abad 20 Benteng Vastenburg tidak lagi mampu menampung para tentara Belanda.
Zaman penjajahan Jepang, tahun 1942 hingga 1945, Gedung Djoeang yang sempat dikuasai pasukan Nipon. Jepang digunakan sebagai markas dan barak militer. Namun, setelah tiga tahun berselang, gedung itu berhasil direbut kembali oleh pejuang-pejuang Indonesia yang tergabung dalam para resimen. Peristiwa tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya Brigif 6 dengan nama Resimen 26 pada masa perang kemerdekaan.
Setelah dikuasai pemerintah RI, Gedung Djoeang digunakan untuk kegiatan kemanusiaan yang kemudian menjadi panti asuhan bagi anak-anak korban perang. Tahun 1945-1949, digunakan sebagai fasilitas pendidikan. Tahun 1945-1949, digunakan untuk fasilitas pendidikan. Yang pernah menggunakan bangunan ini adalah SPK, SMPN 3 dan SMPN 5.
Tahun 1949-1980, dijadikan sebagai markas militer dan pusat Brigade Infanteri 6. Gedung peninggalan kolonial Belanda itu digunakan sebagai markas militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 1949. Kemudian antara tahun 1970 hingga 1980-an, digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigif 6 Trisakti Baladaya Kostrad wilayah Karesidenan Surakarta.
Tahun 1980-2019, setelah Brigade Infanteri 6 pindah ke Palur, tahun 1980-an Gedung Djoeang digunakan sebagai kantor pengurus DHC 45 (Dewan Harian Cabang).
Di kompleks Gedung Djoeang terdapat monumen “Laskar Putri” Surakarta, yang dibangun sebagai penanda sejarah keikutsertaan kaum wanita dalam perjuangan serangan 4 hari di Solo, 7-11 Agustus 1945.
Meski Gedung Djoeang telah direvitalisasi dan dijadikan destinasi wisata di Solo yang ikonik, tapi pihak pengelola tetap mempertahankan keaslian dan keutuhan bangunan cagar budaya di Kota Solo itu.
Ayo berkunjung dan berwisata di Gedung Djoeang Solo, bisa berselfie ria, dapat pengalaman baru dan wawasan tentang sejarah pasti bertamah luas. Ingat Jasmerah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah.(*)
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |