DI jantung Kota Semarang, berdiri megah sebuah klenteng berusia ratusan tahun bernama Sam Poo Kong yang juga dikenal sebagai Gedong Batu. Tempat ini menyimpan kisah perjalanan Laksamana Cheng Ho di Tanah Jawa pada abad ke-15.
Sam Poo Kong terletak di Jalan Simongan No.129, Semarang, Jawa Tengah. Luas kompleks Sam Poo Kong 1.020 meter persegi dengan pengaruh arsitektur Cina dan Jawa dengan cerita sejarah dan akulturasi yang memiliki keunikan sehingga menjadi daya tarik para wisatawan lokal maupun mancanegara
Cheng Ho
Ma San Bao lahir pada tanggal 23 September 1371 di Provinsi Yunnan, Tiongkok. Cheng Ho berasal dari suku Hui, suku bangsa yang memeluk agama Islam. Dia adalah seorang pelaut, diplomat, dan laksamana armada pada masa Dinasti Ming.
Pada tahun 1405, Kaisar Yongle menunjuk Ma San Bao sebagai pemimpin armada besar untuk melakukan pelayaran ke Asia Tenggara, Afrika Timur, dan Timur Tengah. Misinya untuk memperkuat hubungan diplomatik dan perdagangan antara Tiongkok dengan negara-negara lain. Ma San Bao kemudian diberi gelar Laksamana Zheng He/Cheng Ho.
Sejarah Sam Poo Kong
Pada tahun 1406, saat pelayaran Laksamana Cheng Ho melewati Laut Jawa, juru mudinya bernama Wang Jing Hong jatuh sakit. Kapal Cheng Ho pun merapat ke Pantai Utara Semarang untuk merawat juru mudinya di sebuah Gua Batu (kini Gedong Batu). Kemudian mendirikan sebuah masjid di tepi pantai sebagai tempat ibadah umat Muslim.
Setelah Laksamana Cheng Ho melanjutkan pelayarannya, beberapa awak kapalnya yang menetap di Simongan menikahi penduduk setempat. Mereka juga mengembangkan wilayah tersebut dengan membawa budaya bertani dan ajaran Islam yang diwariskan oleh Laksamana Cheng Ho.
Aktivitas perdagangan dan pertanian ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi lokal dan membantu dalam proses akulturasi antara kebudayaan Tiongkok dan lokal Jawa. Demi menghormati pemimpinnya, Wang Jing Hong mendirikan patung Laksamana Cheng Ho di Gua Batu tersebut sebagai tanda penghormatan.
Pada tahun 1704, di wilayah sekitar Gua Batu longsor yang mengakibatkan gua ini mengalami kerusakan akibat keruntuhan tanah longsor. Kemudian masyarakat keturunan Tionghoa membangun gua buatan di sekitar Makam Kyai Juru Mudi. Pada tahun 2002, dilakukan pemugaran oleh Yayasan Sam Poo Kong untuk tetap menjaga kelestarian situs bersejarah Sam Poo Kong.
Nama Sam Poo Kong, yang berarti “Gua San Bao” dalam dialek Hokkian, digunakan untuk mengenang Laksamana Cheng Ho dan semua peristiwa penting yang dialami oleh beliau dan awak kapal di Semarang.
Akulturasi dalam Klenteng Sam Poo Kong
Ornamen khas Tiongkok seperti lampion merah, lilin, dan patung dewa yang gagah menjadi ciri khas arsitektur klenteng yang melambangkan kegembiraan dan kesejahteraan bagi umat. Warna warna cerah seperti merah yang melambangkan keberuntungan dan kuning yang melambangkan kekayaan menghiasi setiap sudut klenteng.
Atap melengkung khas Tiongkok Selatan yang menjulang tinggi dan altar-altar yang dihiasi ukiran menjadi saksi bisu akan kekayaan budaya dan tradisi Tionghoa yang mendalam. Selain simbol-simbol tiongkok, ada bukti sejarah akulturasi Islam-Jawa. Meskipun berada di dalam kompleks klenteng, makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang dengan sebutan “Kyai” dan “Nyai”-nya menjadi bukti nyata akan akulturasi budaya Tionghoa dan Islam di Semarang.
Penggunaan gelar kehormatan “Kyai” dan “Nyai” serta doa-doa yang dipanjatkan di makam-makam para tokoh Islam menunjukkan adanya penghormatan terhadap ajaran Islam-Jawa di tengah masyarakat Tionghoa. Adanya makam-makam dengan ciri khas Islam di dalam kompleks klenteng menjadi bukti sejarah panjang akulturasi budaya yang terjadi di Semarang, di mana nilai-nilai Islam dan Tionghoa hidup berdampingan.
Bangunan-Bangunan dalam Klenteng Sam Poo Kong
Klenteng Agung
Klenteng Agung ini awalnya digunakan sebagai gua batu besar yang menjadi petilasan pertama Cheng Ho ketika armadanya melewati laut Jawa dan melintasi pantai utara Semarang. Klenteng ini sebagai tempat pemujaan Laksamana Cheng Ho yang dianggap sebagai Dewa.
Kuil Hok Tek Ceng Sin
Di kuil Hok Tek Ceng Sin, umat Tionghoa memohon berkah kepada Dewa Bumi untuk kesejahteraan hidup dan kesuburan alam. Umat berdoa di altar Hok Tek Ceng Sin, memohon rezeki melimpah dan perlindungan dari segala marabahaya.
Makam Kyai Juru Mudi
Diatas makam Kyai Juru Mudi bernama Wang Jing hong, dibangun kuil untuk mengenang jasa dan pengabdiannya selama berada di Semarang. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, makam Kyai Juru Mudi dijadikan tempat suci bagi umat untuk berziarah.
Klenteng Sam Poo Kong di Semarang merupakan perpaduan antara sejarah, budaya, dan spiritualitas. Sebagai hasil akulturasi Tionghoa dan Islam, klenteng ini menjadi simbol toleransi dan keberagaman di Indonesia. Adapun warisan budaya dikenalkan melalui beberapa program, seperti festival budaya, pameran artefak, dan lokakarya seni.
Sam Poo Kong menjadi destinasi yang perlu dikunjungi generasi penerus karena dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga warisan budaya serta meningkatkan semangat toleransi antar umat beragama.(Anggina, mahasiswi Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang).
Editor | : | Vladimir Langgeng |
---|---|---|
Sumber | : |